Bersuci dalam Tradisi yang Hidup dari Pondok Mbareng

Dalam kajian fikih Mazhab Syafi'i, awal bab yang sering dikaji adalah bab bersuci atau thaharah. Beberapa kitab ada yang langsung membahas waktu shalat seperti Muwaththa' Imam Malik. Oleh karena itu, bersuci merupakan hal yang paling penting dalam beribadah. Saking pentingnya, tradisi bersuci dari satu daerah ke daerah yang lain dapat dibedakan. Misalnya tradisi bersuci seperti wudlu dan mencuci pakaian di sungai bagi daerah yang dekat dengan aliran sungai. Misalnya Demak, daerah pegunungan, pesisir pantai dan lainnya.


Tradisi bersuci pun berbeda dari satu pondok ke pondok lainnya. Bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Ada yang sangat ketat dalam hal bersuci dan kesucian untuk beribadah, ada yang longgar dan ada juga yang moderat. Mirip dengan kritik rawi dalam hadis.
Untuk yang longgar misalnya dapat kita jumpai di banyak tempat di perkotaan. Minimnya lahan, ketersediaan air, biaya hidup yang mahal serta efisiensi menjadikan suci dan bersuci tidak terlalu ketat. Misalnya dapat kita jumpai masjid atau musholla yang ala kadarnya, air kran yang mengalir dengan lambat, tidak adanya kobokan atau kolam untuk mencuci kaki, alas lantai yang sering berdebu dan lainnya.
Tradisi kelas ketat banyak didominasi daerah pedesaan atau daerah yang dekat dengan pondok pesantren. Misalnya Masjid Kauman Mbareng yang mengharuskan untuk memasukkan kaki ke dalam kobokan setelah keluar dari toilet atau tempat wudhu. Bahkan ada tulisan jalan masuk ke tempat wudhu yang harus memasukkan kaki dulu. Tujuannya agar kaki yang masuk masjid dipastikan sudah suci dari segala najis. Adapun kelas moderat banyak yang ada di desa maupun kota.
Tradisi Bersuci dari Pondok Mbareng
Pondok Mbareng, khususnya yang berasal dari keturunan KH. Yasin atau Mbah Yasin mempunyai tradisi yang khusus dan hidup sampai sekarang. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh menantu sekaligus keponakan beliau, KH. Muhammadun. Dilanjutkan lagi oleh cucu beliau, Nyai Hj. Afifah istri KH. Hasan Wira'i. Dilanjutkan lagi oleh cicit beliau, Nyai A'izzah, istri dari KH. M. Tholhah Izzul Ma'ali. Bagaimana tradisinya?
Bersuci dalam tradisi keluarga di atas dimulai dari kriteria kulah atau bak mandi yang lebih dari dua kulah, standar dalam fikih imam Syafi'i. Bahkan kulah dalam keluarga tersebut sangat besar, kalau diukur mungkin sampai sepuluh kulah ukurannya. Jika kurang, maka harus diisi terlebih dahulu.
Untuk menuju tempat shalat atau salatan maka alas kaki yang digunakan harus tinggi dan tidak meresap sebagaimana sandal jepit. Tujuannya agar tidak ada air najis dari kulah yang terpercik ke kaki atau meresap ke pori-pori sandal. Pakaian yang dipersiapkan untuk shalat atau nyamping harus suci dari najis. Oleh karena itu, anak kecil yang statusnya tidak jelas apakah pakaiannya suci atau tidak dilarang ke salatan atau langgar.
Jika mencuci pakaian, maka harus pakaian dulu dimasukkan ember baru diisi air. Bahkan jika membilas pakaian yang telah dikucek, harus dipastikan air bilasan yang jatuh ke bawah tidak terpercik ke pakaian yang sudah dibilas. Alasannya, agar najis air yang jatuh ke bawah tidak menajisi pakaian yang suci yang telah dibilas tersebut. Bahkan ibu saya, Nyai A'izzah, mengharuskan mencelupkan semua pakaian yang sudah dibilas. Itulah tujuan dari luas kulah yang besar yang ada di rumah keluarga.
Pun mencuci piring harus seperti itu, dimasukkan ke dalam kulah untuk memastikan kesuciannya. Untuk segala bahan masak seperti bawang, tempe, sayur, mie dan lainnya pun harus dicuci dulu untuk memastikan kesuciannya. Dulu ada teman yang bergumam kenapa tempe harus dicuci dulu. Saya bilang itu tradisi keluarga, yang sangat ketat dalam hal kesucian barang.
Ketika pakaian sudah dicuci dan dijemur pun, jika ada anak kecil yang menyentuhnya maka harus dibilas dan disucikan. Bahkan ketika saya mau menimba sumur depan rumah kakek buyut saya, yaitu KH. Abdul Ghani, ibu saya buru-buru bertanya apakah tangan saya suci atau tidak. Pasalnya, sumur tersebut biasa digunakan untuk bersuci.
Pastikan Bersuci Setelah Bermain
Anak pakde saya pernah bermain di sungai desa Loram Kulon, yaitu Kaligondang. Pakde saya kemudian mengharuskan anak-anaknya untuk membersihkan pakaian dan tubuh mereka tujuh kali dengan dicampur debu. Pasalnya, lingkungan sungai sebelah utara desa banyak dihuni orang non Muslim yang sering memakan barang yang dianggap najis seperti babi dan lainnya. Bahkan seringkali waktu saya kecil melihat babi utuh mengalir di Kaligondang.
Bahkan rumah keluarga pun terkadang tidak disucikan. Hal ini dikarenakan terkadang anak-anak suka main di tanah dan tidak memakai alas kaki kemudian masuk ke rumah. Atau mungkin sangat sulit menjaga kesucian rumah, yang banyak menyita banyak waktu. Itulah alasannya rumah keluarga kami tidak disucikan. Tempat yang suci hanya salatan dan beberapa kamar saja.
Jika ada makanan yang jatuh di sekitar kompor masak, meja makan, lantai atau karpet rumah maka dianggap najis. Jika mau menutup pintu rumah maka dipastikan tangan sudah kering atau jika basah harus memakai kain atau pakaian untuk menyentuh pintu tersebut. Itulah sebagian dari tradisi yang hidup dalam keluarga Mbareng, yang dianggap sebagai hukum yang hidup atau living law.
Hukum yang hidup adalah hukum yang berlaku dan berlaku dalam suatu komunitas masyarakat yang mungkin tidak sesuai dengan hukum yang ideal. Namun begitu, hukum bersuci dalam tradisi pondok Mbareng adalah tradisi yang ada di atas idealitas, yang mungkin tidak bisa dilakukan sembarangan orang.
Jadi bila saya melihat bersucinya teman-teman saya yang longgar atau moderat, saya tidak bisa menyalahkan mereka. Itu adalah living law bagi mereka. Pun dengan keluarga yang lain. Pak Lik saya, KH. Masyhadi, suami dari Hj. Alfiyah binti KH. M. Ihsan Ngloram mengatakan bahwa tradisi keluarga Loram adalah tradisi bersuci yang sangat ketat.
Namun dengan keketatan dalam bersuci di keluarga Mbareng tidak kemudian menghalangi saya untuk tidak bersuci di daerah yang longgar bersuci seperti di kota yang saya tinggali saat ini, yaitu di Yogyakarta dan Semarang. Hukum fikih sangat dinamis dan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan, sehingga hukum tersebut bergantung pada tidaknya suatu alasan atau 'illat hukum.

Post a Comment

0 Comments