Mendak Kedua Al-Karim bin Al-Karim bin Al-Karim

Hari ini, 28 Syawwal 1439 H adalah mendak kedua bagi almaghfurlah kakak saya, Al-Karim bin Al-Karim bin Al-Karim Mohammad In'amullah bin H. M. Tholhah Izzul Ma'ali bin H. M. Ihsan. Mendak artinya genap satu tahun. Tahun ini adalah mendak kedua, yang berarti telah genap dua tahun. Dalam tradisi Jawa, ada mendak pisan, mendak pindho. Setelah 1000 hari dari wafatnya seseorang, ada namanya nyewu. Setelah itu rangakaian peristiwa berakhir di nyewu, maka untuk memperingati wafatnya seseorang dilaksanakan tiap satu tahun sekali pada hari wafat, ada yang sebelum bahkan sesudahnya.


Rangkaian peristiwa dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, menguburkan, talqin, tujuh hari tahlil dan Yasin atau mitung dino, empat puluh hari atau metang puluh, seratus hari atau nyatus, mendak pisan, mendak pindho, nyewu dan lainnya bukanlah sekedar acara formalitas belaka. Di balik itu, ada nuansa yang memberikan dukungan moral dan mental bagi keluarga yang ditinggal wafat.
Adanya hari-hari peringatan tersebut memberikan simbol bahwa keluarga yang ditinggal wafat bukanlah kemudian tidak mempunyai keluarga lagi. Namun mereka masih mempunyai banyak keluarga yang datang untuk rewang atau membantu segala persiapan acara. Atau banyak keluarga yang datang untuk mendoakan dan meramaikan rumah tersebut. Di samping itu, juga mengingatkan bahwa kematian adalah sesuatu yang mana setiap orang akan merasakannya, tidak harus menunggu besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan atau tahun depannya lagi.
Wafatnya kakak saya
Beberapa hari sebelum tanggal tersebut, saya mau ke Pekalongan untuk melanjutkan hari raya di rumah mertua. Namun beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan telepon dan pesan singkat dari mbakyu saya bahwa kakak saya sedang dalam kondisi kritis di ICU RSUD dr. Loekmonohadi Kudus.
Say kemudian langsung pamit untuk pergi ke Kudus bersama istri saya sore hari itu juga. Saya berangkat berboncengan dengan istri saya dari Pekalongan setelah shalat Maghrib. Motor yang saya tumpangi melaju dengan gigi persneling tiga, agar saya tidak terlalu terburu-buru dan lupa daratan di jalan Pantura yang paling sibuk se-Asia Tenggara itu.
Pukul 12 kurang sedikit, saya sampai di Kudus. Kemudian saya gunakan untuk istirahat di rumah dulu sebelum menjenguk kakak saya di rumah sakit. Besok paginya, saya menjenguk langsung ke ruang ICU dan mendapati kakak saya dalam keadaan tidak sadar. Seluruh keluarga yang menjenguk turut membacakan surat Al-Ra'du dan Yasin dari waktu ke waktu. Teman-teman guru di Madrasah TBS juga satu per satu menjenguk dan memberikan doa terbaik.
Sekitar tiga hari sudah berlalu di ruang ICU. Mendadak dokter yang menangani kakak saya memanggil saya dan mengatakan bahwa tidak ada kesesuaian antara saraf otak dan organ dalam. Artinya harapan hidup masih sangat kecil. Namun beberapa keluarga yang pernah mengalami kritis dan sembuh memberikan dukungan dan optimisme akan kesembuhan kakak saya.
Pagi harinya, kakak saya tampak agak segar dan kulitnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Artinya ada harapan lebih untuk kesembuhan. Beberapa kerabat yang membesuk juga mengatakan hal yang sama seperti Al-Mukarram KH. M. Aniq Muhammadun. Namun waktu yang diberikan Allah sudah tidak bisa ditawar. Keesokannya lagi, kakak saya sepertinya sudah naza' atau nyawanya hampir keluar dari tenggorokan. Tidak ada yang di rumah sakit kecuali istrinya. Ibu saya di luar menjaga Albi, anak mereka berdua. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Mendak pertama, masih ada ibu yang menemani untuk mempersiapkan segalanya yang dibutuhkan guna mbancaki kakak saya. Namun kondisi ibu saya semakin menurun sejak kakak saya meninggal. Tanggal 30 Rajab 1439 H yang lalu, ibu saya meninggal dunia. Beliau menyusul ayah dan kakak saya yang telah mendahuluinya.
Kakak saya adalah orang yang senantiasa mengharapkan langgar dan pondok pesantren yang ditinggalkan ayah dan kakek. Ia selalu tak pernah ketinggalan untuk adzan Maghrib dan menunggu imam atau menjadi imam di langgar. Setelah shalat berjamaah, ia juga tidak pernah ketinggalan untuk mengajarkan ngaji kepada murid-muridnya. Ia mengajarkan tajwid yang paling fasih dan benar menurut tokoh masyarakat dan lingkungan sekitar.
Kini setelah kakak saya tiada, tidak ada lagi penampakan anak-anak ngaji yang membersihkan kolam air dan langgar bersama. Tidak ada lagi resik-resik langgar dan pondok tiap Jum'at pagi. Tidak ada lagi yang mengkoordinir anak-anak dan membimbing mereka agar punya rasa memiliki dan mencintai langgar dan pondok. Tidak ada lagi tambahan anak-anak yang mengaji. Tidak ada lagi ngaji lagu Al-Qur'an dan shalawat yang selalu diputarnya lewat kaset pita atau piringan kaset. Tidak ada lagi yang mengatakan "kamu seperti bapakmu" kalau bertemu kakak saya.
Walaupun tidak ada lagi tersebut terus bertambah, namun amal jariyah dan amal shalehnya selalu diingat masyarakat dan murid-muridnya. Ia adalah lilin dalam kegelapan, yang menerangi sekitarnya. Ia adalah air yang menghidupkan langgar dan pondok. Ia adalah taman yang menginspirasi semua orang. Lahum Al-Fatihah.

Post a Comment

0 Comments