Napak Tilas KH. Amir Idris di Pekalongan

Waktu kecil, ibu saya, almaghfurlaha, sering  menceritakan perjalanannya ketika diajak menghadiri haul KH. Amir Idris Pekalongan bersama ibunya, yaitu nenek saya, Hj. Afifah binti KH. Muhammadun. Ibu saya merupakan cucu pertama KH. Muhammadun, yang mana kemudian banyak mengenang dan mengetahui cerita tentang beliau. Dengan kakek dan ibunya, ibu saya sering diajak ke haul KH. Amir Idris Pekalongan setiap ba'do mulud atau Rabi'ul Akhir. Beliau bercerita bahwa sarean Mbah Amir terletak di timur masjid. Cerita ini hanya bisa saya bayangkan saja, tanpa mengetahui dimana dan siapa Mbah Amir itu.


Setelah sekian lama, saya baru tahu bahwa ternyata Mbah Amir adalah guru dari KH. Yasin Jekulo dan KH. Muhammadun Pondowan. Beliau adalah murid dari KH. Mahfudz Termas, pengarang Mauhibah Dzil Fadhal dan Manhaj Dzawi al-Nadhar. Beliau tinggal di Simbang Kulon Gang 3, namun kemudian dimakamkan di Pemakaman Desa Banyurip Buaran Pekalongan.
Menurut cerita ibu saya, Mbah Muhammadun mengajak ibu dan nenek ke Pekalongan dengan kereta api dari stasiun Tayu. Mungkin sekitar tahun 1970an karena ibu saya lahir pada 1960. Saya pada waktu itu juga tidak tahu dimana makam Mbah Amir dan letak desanya.
Namun takdir berkata lain. Saya dipertemukan dengan jodoh saya yang beralamat di Simbang Kulon Gang 2. Ini berarti sangat dekat dengan Mbah Amir. Setelah beberapa lama saya tinggal di sini, saya baru mengetahui tempat tinggal Mbah Amir dan pondok beliau. Pondok tersebut sekarang menjadi madrasah TPQ dan mushollanya juga masih ada, yang bernama Al-Amir.
Saya juga kemudian menziarahi pasarean Mbah Amir yang dulu sering diceritakan ibu saya. Walaupun Mbah Muhammadun sudah sedha, namun tiap haul Mbah Amir selalu dihadiri oleh putra beliau, yaitu KH. Aniq Muhammadun atau KH. Aslam Muhammadun. Ternyata ayah Mbah Amir, yaitu KH. Idris berasal dari Lumpur, Losari Brebes. Suami dari adik ibu saya, KH. Abdul Halim adalah salah satu cucu KH. Idris. Oleh karena itu, KH. Abdul Halim juga mempunyai banyak santri dari Simbang Kulon yang mondok di Lumpur.
Ternyata cerita-cerita yang diceritakan ibu saya terwujud dalam kehidupan saya sekarang ini, bahwa saya sangat dekat dengan petilasan dan pasarean Mbah Amir, salah satu guru Islam Nusantara. Sayangnya, saya tidak sempat mengajak ibu saya, Allahu yarhamuha, untuk berziarah ke makam Mbah Amir yang dulu sering beliau datangi waktu kecil. Namun begitu, di Simbang Kulon ini, saya selalu merasakan cerita ibu saya yang selalu hidup dalam ingatan dan perasaan.
رب فانفعنا ببركتهم * واهدنا الحسنى بحرمتهم

Post a Comment

0 Comments