Puasa Rajab, Sarana Persiapan Diri Menyambut Bulan Suci


Pada awal bulan Rajab, biasanya para orang tua menyuruh anak-anaknya untuk berpuasa 10 hari awal bulan Rajab dengan beberapa amaliyahnya.

Antara tanggal 1-10 Rajab membaca              : Subchaanallaah al-Hayy al-Qayyum 100x
Antara tanggal 11-20 Rajab membaca            : Subchaanallaah al-Achad al-Shamad 100x
Antara tanggal 21-30 Rajab membaca            : Subchaanallaah al-Ra’uuf al-Rachiim 100x.
Tradisi tersebut telah berjalan dari masa ke masa dan masih ditradisikan sampai sekarang di tanah Jawa.

Sebenarnya tidak hanya di dalam  bulan Rajab saja ada amaliyyah seperti itu. Dalam bulan Muharram ada malam kesepuluh atau biasa disebut ‘Asyura. Dalam bulan Shafar ada malam Rabu terakhir yang disebut Rebo Wekasan. Bulan Rabi’ul Awwal ada pembacaan maulid Nabi Muhammad dari tanggal 1-12 dengan membaca kitab al-Barzanji, al-Diba’i dan yang lainnya.

Memang dalam perjalanannya, ajaran Islam yang dibawa para Walisongo di Jawa ini lebih mengedepankan akulturasi Islam dan kultur setempat. Sehingga bila ditelusui hampir semua tradisi ini tidak ada sumber yang langsung dan eksplisit tersebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Sanad hadits puasa Rajab
Di dalam Sunan Ibnu Majah vol. I hadits no. 17422 disebutkan bahwa Rasulullah melarang puasa Rajab. Tapi menurut muhaqqiqnya, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi bahwa dalam periwayatannya ada rawi yang disepakati kelemahannya, yaitu Dawud bin ‘Atha’ sehingga hadits ini adalah hadits dla’if.

-حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ عَطَاءٍ , حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ ، عَنْ سُلَيْمَانَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ رَجَبٍ.

Sementara itu dalam Musnad Ahmad vol. I hal. 231 baris 13 dan Sunan Abu Dawud vol. I hadits no. 2340 diriwayatkan bahwa Rasulullah berpuasa dan juga tidak berpuasa dalam bulan Rajab.
- حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عِيسَى حَدَّثَنَا عُثْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ حَكِيمٍ - قَالَ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صِيَامِ رَجَبَ فَقَالَ أَخْبَرَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ.

Disebutkan dalam ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud (al-‘Adhim Abadi vol. VII hal. 83), al-Nawawi menjelaskan berdasarkan hadits tersebut bahwa puasa Rajab tidak dilarang dan tidak diperintahkan sebagaimana Rasulullah puasa dan juga tidak puasa dalam bulan tersebut. Jadi, puasa Rajab tidak disunnahkan dan juga tidak dilarang. Selanjutnya al-Nawawi mengatakan bahwa puasa itu pada dasarnya adalah sunnah dan puasa bulan Rajab adalah seperti puasa bulan-bulan lainnya.

Pengalaman empiris
Dalam kitab Durrah al-Nashihin disebutkan beberapa keutamaan puasa bulan Rajab, dimana memang tidak ada sanad yang jelas yang menjelaskan hadits tentang keutamaan tersebut. Menurut hemat penulis, keutamaan tersebut lebih didasarkan pada pengalaman empiris para sufi dalam menjalankan puasa tersebut. Sehingga mereka mengatakan bahwa bila puasa pada bulan Rajab maka ada keutamaan seperti ini dan seperti itu. Mereka mengajarkan dan menganjurkan para pengikutnya –dimana hal ini juga disebarkan ke masyarakat umum- untuk melakukan amaliyyah (puasa, wiridan, dan yang lainnya) pada bulan tersebut.
Memang bila berbicara apakah ini ada dasarnya atau tidak, maka hal ini kan mengantarkan pada kesimpulan (yang bersifat sementara) bahwa hal tersebut memang tidak ada dasarnya dari al-Qur’an maupun al-Hadits. Dan selesailah bahwa puasa dan wiridan bulan Rajab tidak usah dilakukan, lebih ekstrimnya lagi diharamkan.
Tapi ajaran Islam tidak harus di”ketok-palu” seperti diatas. Hal tersebut harus dilihat dari aspek yang lain, semisal kultur, budaya dan historisitas pelaksanaan tersebut. Bila dilihat dari hal tersebut, maka tidak akan ada pertentangan antara tradisi yang sudah dilakukan tersebut dengan ajaran Islam yang universal.
Berikut ini ada beberapa hal yang perlu dilihat dalam pelaksanaan amaliyyah tersebut:
  1. Puasa Rajab memang tidak disyari’atkan, tidak dilarang dan juga tidak disunnahkan. Puasa yang dilakukan dalam bulan Rajab –untuk tidak menyebut puasa Rajab- seperti puasa pada bulan-bulan lain. Inti dari tujuan puasa adalah mengekang hawa nafsu dan melatih diri untuk menggapai hal-hal yang positif. Dan hal ini dapat dilakukan kapan saja, selama tidak dalam waktu-waktu yang diharamkan.
  2. Letak bulan Rajab yang terpaut satu bulan dengan bulan Ramadlan. Hal ini mungkin yang melatari para ulama untuk menganjurkan puasa agar masyarakat bisa mempersiakan dirinya untuk melatih dirinya dan tidak kaget dengan datangnya bulan Ramadlan. Sehingga nantinya bila ada anjuran puasa bulan Sya’ban dan keewajiban puasa Ramadlan, mereka sudah mempersiapkannya dari sekarang.
  3. Puasa dalam bulan Rajab sendiri dimaksudkan untuk memberi fast warning, terutama bagi mereka yang masih punya hutang puasa pada bulan Ramadlan sebelumnya, agar segera mengqadla’nya sebelum bulan Ramadlan datang lagi.
  4. Merupakan hal yang naif bila sedikit-sedikit melarang seseorang untuk melakukan hal yang baik, dengan anggapan tidak ada dasarnya dari al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi setiap sesuatu tidak harus dilihat secara normatif dan literalis, tapi juga secara historis. Bila hal tersebut bisa dilakukan, maka akan terciptalah Islam yang inklusif, kontekstualis, santun, lurus dan lembut sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah.
Wallaahu a’lam.