Kampung Muslim dan Pondok Pesantren Bali


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang kaya akan seni dan budaya. Sebagai pulau wisata, Bali dikenal memiliki sejuta pesona. Hal ini terbukti dengan banyaknya wisatawan asing maupun domestic yang berkunjung pada tiap tahunnya. Bahkan terkadang Pulau Dewata ini lebih dikenal di kancah internasional dibanding nama Indonesia.
Pulau Bali termasuk kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Luasnya adalah 5.632,86 km2, dan dihuni oleh penduduk yang berjumlah ± 3 890 757 jiwa. Perbandingan pemeluk agama satu dengan yang lainnya adalah sebagai berikut: pemeluk Agama Hindu (96 %), Agama Islam (2,5 %), Agama Protestan (0,5 %), Agama Katholik (0,5 %), dan Agama Budha (0,5 %). Oleh karena penduduk Bali sebagian besar penganut Agama Hindu maka corak masyarakat Bali terutama di pedesaan akan tampak sangat khas.[1]
Sebagai pulau wisata, Bali juga kental dengan kultur relegiusitasnya. Umat Hindu Bali sangatlah kental dengan upacara-upacara keagamaan. Hal tersebut merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Selain arsitektur yang bernilai seni tinggi. Dengan banyaknya wisatawan mancanegara yang berlibur di Pulau Bali tentulah membawa dampak bagi Bali pada khususnya, dan juga Indonesia pada umumnya.
Kultur religius semakin bergeser dengan kehidupan modern. Potret kehidupan barat bisa tergambar di Pulau Dewata. Hal ini yang menjadikan pemeluk keagamaan yang kurang memahami dasar-dasar agama secara pasti, menyebabkan melakukan beberapa aksi yang mengundang sensasi. Bom Bali I dan II salah satunya. Yang dilakukan oleh sekelompok Muslim radikal. Hal ini menyebabkan hubungan antara satu pemeluk agama dengan yang lain menjadi merenggang.
Fenomena tersebut menjadi menarik untuk diteliti. Karena Ushuluddin dengan dasar teori keagamaan dan berbagai derivasi keilmuan yang mumpuni telah dipelajari oleh peserta Kuliah kerja Lapangan (KKL) Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang Tahun 2013 di Pulau Bali pada 3 – 7 Februari 2013. Karena kemampuan penguasaan dalam pemahaman teori belum tentu bersinergi jika menghadapi tantangan masyarakat dengan berbagai fenomena yang ada.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam Laporan ini adalah:
1.      Bagaimana Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz di Tabanan Bali diterima masyarakat?
2.      Bagaimana kewirausahaan di Cah Ayu Shop?
3.      Bagaimana kehidupan Kampung Muslim Bugis di tengah-tengah komunitas Hindu Bali?

C.     Tujuan
Dengan dilaksanakannya kegiatan KKL ini, mahasiswa dapat melakukan perbandingan antara teori yang diterima di perkuliahan dengan praktik yang ada di lapangan. Adapun tujuan dari kegiatan KKL ini, dapat diperinci sebagai berikut:
1.      Memberikan pengetahuan secara langsung tentang sejarah objek yang dikunjungi, mengenai masalah, serta solusi yang mereka lakukan.
2.      Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan perbandingan antara teori dan praktik mengenai kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
3.      Memperkaya wawasan yang berkaitan langsung dengan program studi masing-masing dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kepekaan terhadap perkembangan zaman.
4.      Mempersiapkan wirausaha muda yang handal, profesional, dan amanah.

D.    Manfaat
Bagi mahasiswa:
1.      Mengetahui secara langsung profil objek yang dikunjungi. Baik dari sejarah, mekanisme kerja, serta mengetahui cara untuk tetap bertahan dalam menghadapi hambatan-hambatan yang muncul.
2.      Mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh dalam perkuliahan dalam kehidupan riil kemasyarakatan.
3.      Terinspirasi serta termotivasi untuk mendirikan usaha sesuai minat dan pendidikan setelah memperoleh gambaran di lapangan.

Manfaat bagi universitas:
1.      Memperoleh masukan terkait isu-isu terkini dalam dunia kerja serta usaha sebagai bahan pengembangan penelitian dan pendidikan.
2.      Meningkatkan dan memperluas jaringan kerjasama (network) dengan institusi yang dikunjungi.


BAB II
PONDOK PESANTREN RAUDHATUL HUFFADZ

A.    PONDOK PESANTREN RAUDHATUL HUFFADZ
1.      Sejarah Pendirian Pondok Pesantren
Pendirinya adalah KH. Nurhadi. Keprihatinan beliau melihat kondisi Pulau Bali yang belum tersentuh nilai- nilai Islam seperti di Pulau Jawa membuat beliau sebagai murid Kyai ternama dari Kudus yaitu Romo KH. Muhammad Arwani Amin[2] dan juga motivasi beliau yang bertujuan agar bagaimana Bali dapat diisi dengan al-Qur’an maka beliau berkeinginan untuk menyebarkan Islam di Pulau seribu Pura tersebut. Dengan bekal kemantapan beliau terhadap ajaran- ajaran yang ada dalam al- Qur’an serta dukungan dari KH. Muhammad Arwani Amin Kudus untuk mendirikan pondok pesantren penghafal al-Qur’an, beliau bertekad hijrah ke Bali.
Kedatangan beliau pada tahun 1979 diterima oleh penduduk Bali dan disanalah bersama enam temannya yang sama- sama berlatarbelakang Nahdlatul Ulama’, mereka membentuk sebuah komunitas Islam kecil di Pasar Bali. Komunitas tersebut terdiri dari orang- orang yang berekonomi lemah seperti pedagang- pedagang kecil di pasar dan asongan. Ketika pertama kali tiba di Tabanan, penduduk disana sebagian sudah ada yang masuk Islam dan juga sudah ada musholla yang didirikan.[3] Sedikit demi sedikit penduduk yang beragama Hindhu ada yang masuk Islam dan orang- orang yang beragama Islam yang ada di Bali pun tetap dapat hidup rukun dengan penduduk Bali yang beragama non-Muslim.
Pada dasarnya masyarakat Bali adalah masyarakat yang ramah dan memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan agama lainnya. Hal tersebut didasari atas gagasan toleransi yang terdapat dalam agama Hindhu yakni ajaran tat twam asi dan ahimsa (nir kekerasan). Tat twam asi menekankan pada persaudaraan universal yang berarti anti terhadap membeda- bedakan agama, etnis, kelas social dan lain- lain, ahimsa adalah larangan untuk melakukan kekerasan atau himsa dalam pikiran, ucapan dan tindakan.[4] Jadi jika seseorang melakukan kekerasan terhadap orang lain maka sama halnya melakukan kekerasan terhadap diri sendiri. Kedua ajaran tersebut menjadi schemata bagi umat Hindhu dalam bertoleransi dengan agama lainnya. Apalagi schemata lebih kuat lagi penerapannya pada masyarakat Bali karena umat Islam berperan dalam system ekonomi pasar dan secara struktur social orang Islam sangat adaptif, sehingga hubungan antaretnik dapat terhindar dari konflik.[5]
Disamping itu juga kearifan social yang dikembangkan oleh orang Islam di Bali mengarahkan mereka untuk berpola piker rwa bhineka, yang mana artinya adalh orang Islam menyadari posisi mereka sebagai orang pinggiran dan orang Hindhu Bali berada pada posisi pusat. Pinggiran tidak mungkin meniadakan pusat adapun pusat bisa melenyapkan pinggiran dengan kekuasaannya. Oleh karena itu orang pinggiran dalam hal ini harus bisa beradaptasi dan mendekatkan diri dengan yang pusat. Pendekatan tersebut juga dilakukan Kyai Nurhadi agar bisa diterima oleh masyarakat Bali.

Dalam menyebarkan Islam sendiri beliau menggunakan metode dakwah Walisongo.[6] Oleh karenanya, toleransi pada masyarakat Bali tidak terlepas dari visi Islam tentang toleransi yang secara substansial menyatu dengan agama Islam.[7]
Dengan diterimanya kedatangan Kyai Nurhadi dan keberhasilan beliau bersama teman- temannya dalam membentuk komunitas Islam di tengah- tengah minoritas, beliau melanjutkan perjuangannya dengan rencana pendirian musholla- musholla kecil di lingkungan penduduk. Akan tetapi langkah beliau tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan, mengingat lahan tanah di Bali sangat mahal. Disamping itu ada beberapa hambatan yang membuat usaha Kyai untuk membangun Musholla membutuhkan usaha lebih keras lagi.

Hambatan Membangun Peribadatan
a.    Peristiwa ledakan bom Bali ditahun 2002
Hasil dari kajian 2009 memperlihatkan bahwa puncak ketegangan hubungan antara umat Islam dengan warga Bali secara umurn adalah setelah terjadinya peristiwa born Bali pada 2002 Ketika itu para tokoh agama lebih sering bertemu. Para pemimpin umat beragama sepakat untuk "sama-sama berjaga dan menahan diri." Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengendalikan masyarakat agar tidak saling menuduh dan mengakibatkan kerusuhan. Selain itu, antara umat Islam dan warga Bali sepakat bahwa peristiwa born Bali tidak boleh dikaitkan dengan etnis, agama dan kepercayaan.[8] Kendati demikian, pasca born Bali tetap merupakan saat-saat yang sulit bagi umat Islam di Bali. umat Islam tetap menjadi sasaran kecurigaan, sapaan beralih menjadi ejekan yang menyudutkan umat Islam pada waktu itu.
Sektor perekonomian yang menunjang kehidupan rakyat lumpuh. juga mahalnya harga tanah tidak memungkinkan adanya tanah wakaf dari masyarakat Islam, karena kondisi mereka tentunya dalam kekurangan. Selain itu pasca bom Bali ada pelarangan bagi pedagang muslim pendatang yang tergolong dari pedagang kecil dan informal untuk berdagang.[9]
b.    Munculnya peraturan daerah (Perda)
Isi dari Perda tersebut menyatakan bahwa setiap ada pendirian tempat ibadah harus ada komunitas minimal 60 kepala keluarga sampai 100 kepala keluarga. Dampak dari peristiwa pengeboman menjadikan umat Islam tersudut serta kerugian dalam bidang ekonomi menjadikan orang- orang Islam pendatang kembali ke daerah asalnya. Hal ini mengurangi jumlah umat Islam yang masih berjumlah sedikit pada waktu itu.
c.    Harus ada ijin lingkungan dan ijin dari Gubernur
d.   Masalah kartu identitas (KTP atau KIPEM).[10]
Hambatan- hambatan yang dialami oleh penduduk Tabanan dan khususnya untuk Kyai Nurhadi dalam melanjutkan usaha pembangunan tempat ibadah seakan akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Karena dengan adanya aturan- aturan tersebut banyak musholla yang sebelumnya telah lama dibangun sebelumnya kemudian ditutup. Perjuangan untuk dapat mendirikan musholla tidak berhenti begitu saja. Cara lain yang ditempuh yaitu dengan system kontrak tanah karena mengharapkan mendapat tanah wakaf dan membeli tanah sangat sulit. Tanah yang didapatkan pun tidak terletak dilingkungan yang seratus persen mayoritas Islam tapi di lingkungan yang minoritas Muslimnya yang mana banyak pekerja Muslim bekerja pada orang- orang non- muslim tersebut. Dengan begitu memudahkan umat Islam untuk dapat menjalankan ibadahnya penduduk Tabanan sendiri .
Setelah itu, beliau berusaha untuk membangun system perekonomian kembali. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kegiatan- kegiatan perjudian yang merebak di masyarakat agar mereka bisa menyibukkan dengan hal- hal yang positif. Dalam kehidupan masyarakat Bali sendiri juga dikenal "budaya tajen" atau sabung ayam. Perjudian lokal khas Bali ini seringkali dikaitkan dengan ajaran Hindu "tabuh rah", yakni upacara yang mempersembahkan darah binatang, umumnya ayam.[11]
Dengan bantuan Bupati setempat dengan memberikan tanah untuk digunakan untuk lahan membuka lapangan pekerjaan, kemudian Kyai Nurhadi membuka pasar malam. Dari sinilah awal perekonomian dibangun kemudian semakin lama perekonomian masyarakat muslim pun meningkat. Setelah perekonomian menjadi stabil, penduduk setempat kemudian ikut serta dalam proses pembangunan musholla. Karena tujuan utama Romo Kyai Nurhadi adalah melaksanakan amanat dari gurunya Kyai Arwani untuk membangun sebuah Pondok Tahfidz Qur’an. Maka, kemudian beliau membeli sebidang tanah di Kabupaten Tabanan dan mendirikan pondok yang diberi nama Raudhatul Huffadz.           

Visi dan Misi Pondok Pesantren
Visi: Bagaimana Bali diisi dengan al- Qur’an
Bagi beliau perjuangannya dalam menyebarkan Islam adalah karena berdasarkan dan termotivasi oleh al-Qur’an. Karena di dalam al-Qur’an tidak ada perbedaan dan hanya al-Qur’an sajalah yang dapat menembus ke semua tempat. Al-Qur’an memuat segala macam ilmu pengetahuan. Romo Kyai berkata “Dengan al-Qur’an saya dapat mengendalikan laju dan mengontrol kondisi masyarakat serta menjawab permasalahan yang ada pada masyarakat”.
Misi: Memahamkan masyarakat atas al-Qur’an dalam konteks yang benar
Selain menghafal al-Qur’an ada pendalaman dalam bidang tafsir al-qur’an. Para santri yang menghafalkan al-Qur;an diharapkan dapat memahami maksud dari makna ayat; ayat al-Qur’an itu sendiri. Sehingga, ketika mereka telah siap untuk ditempatkan di lingkungan masyarakat, mereka dapat mencari solusi atas permasalahan yang ada pada konteks pemahaman yang benar.


2.      Profil Pondok Pesantren
Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz terletak di Kabupaten Tabanan Bali, tepatnya di Jalan A. Yani  Gang Kamboja I /04 Kediri Tabanan, Bali No. Telepon (0361) 812562. Pondok ini berjenis kombinasi, artinya terdiri dari santri laki-laki dan perempuan. Jumlah santri laki-laki 241 orang, sedangkan yang perempuan 142 orang.[12]
Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz merupakan pondok yang fokus pada hafalan al-Qur’an, dimana porsi mengaji dan setoran al-Qur’an lebih banyak daripada kajian literatur pesantrennya. Adapun para santriwan maupun santriwatinya terdiri para pelajar yang berasal dari dan luar Bali.[13]

3.      Metode Hafalan Al-Qur’an
Adapun metode yang digunakan dalam menghafal al-Qur’an oleh santri Raudhatul Huffadz adalah:
a.         Istiqomah. Yang dimaksudkan istiqomah disini bukanlah terus menerus mengkaji dan menghafal al- Qur’an diseluruh waktu, akan tetapi ada pembagian waktu- waktu tertentu. Karena para santri harus membagi waktu mereka dengan sekolahnya juga.
b.         Menuliskan ayat- ayat al-Qur’an yang dihafalkan dengan tulisan arab. Hal ini dimaksudkan agar para santri yang menghafal al-Qur’an dapat meminimalisir kesalahan dalam hafalannya dan juga untuk menjaga hafalan santri itu sendiri.
c.         Pengajaran secara langsung dengan menjelaskan kaidah- kaidah bacaan al-Qur’an ketika santri menyetorkan hafalannya. Contohnya ketika ada tanda waqaf dalam suatu ayat maka guru yang menyimak sekaligus menjelaskan kaidah- kaidah dari tanda waqaf tersebut. Begitupun juga ketika dalam setoran santri terdapat kesalahan maka guru langsung membenarkan dan menjelaskan dengan hati- hati, sehingga santri dapat menerima ilmu dengan mudah.[14]
Disamping menghafal al-Qur’an, pondok pesantren ini juga mengkaji ilmu tafsir sebagai sarana pendalaman memahami makna teks al- Qur’an serta berbagai kitab tafsir. Perlunya pemahaman tafsir al- Qur’an bagi santri adalah supaya para santri dapat menerapkan ilmu- ilmu yang terkandung dalam al- Qur’an. Jadi, disamping pengetahuan umum yang didapatkan para santri di Madrasah Aliyah mereka juga mendapatkan ilmu agama yang mendalam. Romo Kyai sendiri mengatakan banwa generasi yang sebenarnya diharapkan adalah generasi yang mencerdaskan dirinya secara spiritual terlebih dahulu dan baru kemudian mencerdaskan intelektual mereka. Dengan begitu mereka tidak akan mudah terbawa arus yang dapat menyimpangkan mereka dari aturan- aturan agama.

4.      Pemaknaan Teks al-Qur’an di Lingkungan Pondok
Sebagai pulau dengan penduduk mayoritas beragama Hindu, penduduk Muslim Bali haruslah memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama lain. Meski Islam menjadi agama minoritas, pemahaman terhadap pengetahuan keagamaan sangatlah diperlukan. Selain untuk mempertahankan akidah diri, juga sangat diperlukan dalam hubungan dengan umat agama lain.
Fenomena Bom Bali, hendaknya menjadi cambuk bagi kaum muslimin untuk lebih memahami akan dasar agama Islam secara pasti. Penguasaan terhadap penafsiran al-Qur’an perlu di perbaiki. Pesantren menjadi salah satu tempat strategis untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Terlebih Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz yang memiliki berbagai metode dalam menghafal yang juga harus menguasai tulisan serta penafsirannya. Diharapkan bisa mengurangi salah pemahaman dalam menafsirkan beberapa ayat yang berkaitan tentang Jihad dan akidah.
Selain itu, keberadaan pesantren memiliki andil yang sangat besar dalam kontrol sosial dan juga perubahan sosial. Karena kehidupan pesantren tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan masyarakat. Terlebih lagi hubungannya dengan keilmuan Ushuluddin yang menekankan pada aspek akidah dan akhlak maka permasalahan pokok moral dan keyakinan masyarakat Muslim Bali yang berada di tengah- tengah mayoritas golongan non-Muslim sangatlah membutuhkan suatu tokoh atau pegangan dalam mempertahankan aspek moral dan etika Islam.
Dalam rangka pembinaan akhlak di masyarakat maka fenomena pesantren merupakan wadah yang tepat untuk hal itu. Karena, dalam pesantren mengarahkan dan membimbing para santrinya untuk berperilaku Sesuai dengan nilai dan norma dalam Islam, yang mana ditunjukkan melalui tindakan- tindakan dari ustadz-ustadz mereka. Sehingga perilaku para santri inipun dapat dilihat dari pengaruh tindakan ustadz mereka dan bagaimana perilaku para santri merespon perilaku ustadz mereka. Adapun nilai yang diterapkan dalam masyarakat adalah kelemahlembutan sebagaimana firman Allah:
فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159).

B.     ANALISIS
Sesuai dengan teori aksi interaksi,[15] tindakan- tindakan santri dengan lingkungannya dimasyarakat merefleksikan interaksinya dengan kyai ataupun guru- gurunya di dalam pesantren. Untuk itulah kenapa ilmu akhlak perlu untuk diaplikasikan dalam suatu lembaga yang nantinya dapat melahirkan nilai-nilai dan norma etika yang berbasis pada al- Qur’an tentunya dan dapat dipraktekkan di kehidupan masyarakat.
Adapun nilai yang dipraktekkan dimana pun berada oleh KH. Nurhadi adalah berpedoman pada firman Allah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jumu’ah: 10)


BAB III
KAMPUNG MUSLIM BUGIS

A.    KAMPUNG MUSLIM BUGIS
Suku Bugis adalah suku yang berasal dari Sulawesi Selatan. Saat ini orang Bugis tersebar di beberapa provinsi di Indonesia.[16] Salah satu provinsi yang menjadi daerah tujuan transmigrasi suku Bugis adalah Pulau Bali. Suku Bugis yang berada di Pulau Bali bertempat di Serangan Kabupaten Denpasar Selatan dan orang Bugis yang pertama kali menginjakkan kaki disitu adalah Syeikh Mukmin.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bali adalah pulaunya orang Hindu. Tetapi Syeikh Mukmin adalah seorang muslim. Bahkan ia adalah orang pertama yang membuat kampung muslim di pulau Bali. Maka ini merupakan fenomena yang menarik yang karena tujuan utama Syeikh Mukmin ketika pindah ke Bali dalam rangka mengungsi. Bukan dalam rangka berdakwah ataupun berdagang seperti ketika masukknya Islam ke pulau Jawa. Maka kajian mengenai keberadaan Kampung Bugis di pulau Bali ini layak dibahas agar bisa diketahui bagaimana asal-usul kepindahan Syeikh mukmin dari kampung halamannya serta perjuangannya ketika sampai di Pulau Dewata sehingga kampung tersebut masih eksis sampai sekarang.

1.      Sejarah Kampung Muslim Bugis dan Masjid asy-Syuhada’ di Serangan Bali
Syeikh Mukmin adalah tokoh muslim dari Suku Bugis. Ketika kampung halamannya yang berada di daerah Ujung pandang (sekarang Makassar-red) Sulawesi Selatan masih dikuasai Vereegnigde Oostindische Compagnie (VOC) atau penjajah belanda, ia tidak mau tunduk pada mereka. Hal itu terkait dengan Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang melarang warga Bugis memiliki kapal berukuran besar.[17] Sebagai bentuk protes, ia bersama 40 orang Bugis lain berlayar pergi meninggalkan kampung halaman mereka.
Setelah berlayar tak tentu arah, mereka akhirnya terdampar di Pulau Bali. Ketika mereka berlabuh, daerah tersebut sudah ada yang menguasai. Adalah Raja Badung yang menjadi penguasa setempat. Ia bersama rombongannya pun diminta menghadap pihak kerajaan. Raja Badung sebenarnya agak curiga kalau-kalau mereka adalah mata-mata belanda. Tetapi ketika melihat tutur kata, perliaku, dan tata kramanya ketika menghadapnya, Mukmin dianggap orang baik dan akhirnya diterima oleh pihak kerajaan. Selain itu Syeikh Mukmin yang anti penjajah setali dua uang dengan sikap Raja Badung terhadap belanda. Mukmin dan rombongannya pun diminta untuk tinggal di Istana kerajaan sebagai tamu dan akan dijamin segala kebutuhannya.
Setelah hidup di Istana selama sekitar dua bulan, ia meminta pada raja untuk ditempatkan di pesisir karena merasa tidak enak menjadi “tamu” dan tidak pernah melakukan apa-apa. Ia meminta kepada Raja agar menjadi penduduk biasa dan ditempatkan di daerah dekat laut karena mereka terbiasa hidup di dekat laut yang merupakan mata pencaharian utama mereka dulu. Mukmin pun diberi tempat di Pulau Serangan. Daerah yang akan mereka huni tersebut luasnya sekitar dua hektar. Karena merasa cocok dengan daerah tersebut, Mukmin pun menerimanya dan mendirikan beberapa bangunan untuk tempat tinggal. Ia minta izin mendirikan musholla, tetapi oleh Raja Badung Syeikh Mukmin disuruh membuat masjid alih-alih musholla. Semua biaya pembangunan itu ditanggung oleh pihak kerajaan. Setelah selesai, masjid itu dikenal dengan nama Masjid asy-Syuhada’.
Suatu ketika, Raja Badung ingin melebarkan kekuasaannya sampai Kerajaan Mengwi. Kerajaan Mengwi adalah kerajaan yang terkenal angkuh dan sombong. Sebelumnya Raja Badung telah mencoba menyerangnya sampai dua kali, tapi tidak pernah berhasil. Ia pun mencoba meminta tolong oleh Syeikh Mukmin dalam penyerangannya yang ketiga kali. Karena merasa bahwa Syeikh Mukmin bukan orang sembarangan, Raja Badung menyerahkan segala hal yang berhubungan dengan penyerangan tersebut kepada Syeikh Mukmin. Syeikh Mukmin pun menerimanya dengan senang hati karena merasa berhutang budi pada Raja Badung. Tiga hari setelah permintaan itu disampaikan, Syeikh Mukmin kembali menemui Raja Badung dan menjelaskan strategi beserta hari baik dimana penyerangan akan dimulai. Akhirnya pada hari senin jam tiga dini hari, pasukan Kerajaan Badung berangkat ke Kerajaan Mengwi dengan Mukmin sebagai panglimanya.
Kerajaan Mengwi termasuk kerajaan yang sulit dimasuki. Seratus meter sebelum perbatasan, daerah itu sudah dipenuhi oleh penjaga. Mereka pun beristirahat sejenak selama satu malam sembari membuat senjata khusus yang terbuat dari kayu pohon untuk menyerang pasukan Mengwi yang terkenal sakti. Karena itu Syeikh Mukmin berinisiatif membuat senajat sendiri dan tidak menggunakan senjata tajam dalam penyerangan tersebut.
Keesokan harinya, tepat jam tiga pagi, mereka mulai menyerang kerajaan Mengwi. Mereka menyerang dari arah depan belakang. Korban banyak berjatuhan di pihak lawan. Setelah berusaha sekuat tenaga. Mereka akhirnya memperoleh kemenangan. Pada awalnya, Syeikh Mukmin diminta untuk membawa Raja Mengwi hidup-hidup. Tetapi karena dirasa tidak memungkinkan, Syeikh Mukmin terpaksa membunuh Raja Mengwi dan memotong kepalanya untuk dibawa pulang sebagai bukti kemenangan. Berkat jasa Mukmin ini, sempurnalah awal proses persahabatan anatara agama Hindu dan Islam di Pulau Bali.[18]

2.      Pendidikan dan Mata Pencaharian Kampung Muslim Bugis
Tingkat pendidikan formal Kampung Muslim Bugis bias dikatakan cukup. Lembaga pendidikan di Kampung tersebut hanya SD dan SMP. Jadi kalau ada yang ingin melanjutkan di jenjang SMA harus pergi ke daerah lain.
Tetapi dalam segi pendidikan agama bias dikatakan kurang. Kekurangan ini lebih dikarenakan kurangnya sumber daya manusia mumpuni yang berasal dari penduduk Kampung Muslim Bugis sendiri. Pendidikan agama disana hanya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Adapun madrasah belum ada dan kabarnya masih dalam tahap perencanaan
Mata pencaharian Kampung Bugis pada awalnya hanya nelayan. Tetapi seiring berjalannya waktu, pekerjaan yang mereka jalankan semakin beragam. Hal itu bias dilihat di jalanan Kampung Bugis yang beberapa rumahnya mempunyai warung makan, took kelontong, dan lain sebagainya.[19]

3.      Keadaan Kampung Bugis Masa Kini
Kampung Bugis Bali terletak di Pulau Serangan yang termasuk dalam daerah kabupaten Denpasar Bali, tepatnya Denpasar bagian selatan dan berjarak sekitar 15 km dari kota Denpasar. Pada awalnya Pulau Serangan merupakan pulau kecil yang terpisah dari pulau Bali. Tetapi saat ini pulau tersebut sudah dihubungkan dengan Pulau Bali dengan dibuatnya sebuah jembatan sekitar 15 tahun yang lalu. Adapun jumlah penduduk kampung Bugis setelah sekitar 300 tahun menempati Pulau seranganm saat ini mencapai 80 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 300 jiwa.
Kampung Bugis tersebut diapit kampung-kampung lain yang umumnya orang Bali dan penganut Hindu. Kendati demikian, baik masyarakat Islam Bugis, maupun warga Hindu yang tinggal di kampung sebelah hidup rukun berdampingan, meski berbeda agama dan suku. Mereka juga saling menghormati. Apabila keluarga mereka ada yang menikah, mereka saling mengundang. Ketika masing-masing dari mereka merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Nyepi, mereka juga saling mengunjungi untuk sekedar mengucapkan selamat hari raya.
Wilayah pemukiman orang Bugis kontras berbeda dengan rumah-rumah orang Bali yang beragama Hindu. Tidak ada dinding pemisah antara satu rumah dengan rumah lainnya. Bangunan-bangunan itu berjajar rapi menghadap pada satu jalan setapak yang melintang.
Di kampung tersebut terdapat sebuah Masjid yang bernama Masjid asy-Syuhada’. Masjid ini merupakan saksi bisu pertukaran budaya Islam dan Hindu. Meski sudah mengalami beberapa kali renovasi, namun bentuk dan corak arsitektur masjid masih kental terlihat. Bahkan mimbar khotbah dan jendela masjid masih asli.
Keberadaan kampung Bugis pernah dua kali terancam. Yang pertama ketika anak mantan Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, ingin membangun bungalo dan lapangan golf di pulau Serangan tersebut sebelum era reformasi. Tetapi hal itu tidak jadi terlaksana karena banyak pihak, terutama pihak penduduk serangan, yang menolak rencana tersebut.
Kedua, ketika terjadi peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 dan 2005. Meskipun mereka memiliki hubungan baik dengan umat Hindu, kampung ini tidak luput dari rasa curiga masyarakat Hindu sekitar akan aksi terorisme. Hal ini dikarenakan kampung ini adalah kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan pelaku bom bali tersebut adalah muslim. Tetapi karena adanya sejarah yang membentuk kampung Bugis di Pulau Serangan, sejarah bagaimana nelayan kampung Bugis dapat memiliki ikatan erat dengan Kerajaan Badung dan bagaimana kisah kepahlawanan leluhur mereka, kampung Bugis bisa dikatakan aman pasca peristiwa Bom Bali dulu.
Dalam sejarahnya, tak ada muslim Bugis serangan yang pindah agama ke Hindu, tetapi dari Hindu sendiri ada yang masuk Islam. Sedangkan keluarga Syeikh Mukmin saat ini sudah tidak ada. Dulu mata pencahariannya cuma nelayan, tetapi sekarang sudah cukup beragam.[20]

B.     ANALISIS
Sejarah kedatangan suku Bugis ke Pulau Bali yang diterangkan H. Mansyur tergolong kurang mendetail. Penyebab utama Syeikh Mukmin pergi dari kampung halamannya yang dijelaskan H. Mansur terlihat kontras dengan apa yang dilakukan Syeikh Mukmin ketika menetap di Bali. Dalam sejarahnya, ketika mengabdi kepada Raja Badung Syeikh Mukmin digambarkan sebagai sosok yang sakti. Ia bahkan bisa mengalahkan Raja Mengwi yang bahkan Raja Badung sekalipun tidak pernah bisa mengalahkannya setiap kali menyerangnya. Lalu bagaimana mungkin Syeikh Mukmin pergi dari Makassar begitu saja tanpa melakukan perlawanan terhadap VOC yang melakukan penjajahan di negerinya?
Ada sedikit benang merah untuk mengurai masalah ini, yaitu dengan melihat sedikit sejarah Kerajaan Goa. Kemungkinan besar, Syeikh Mukmin ketika masih berada di Makassar mengabdi kepada kerajaan Goa. Sekitar tahun 1660an, ada perseteruan antara kerajaan Goa dan kerajaan Bone. Konflik itu berakhir dengan peperangan antara keduanya. Peperangan itu sangat merugikan pihak Goa karena Kerajaan Bone meminta bantuan VOC yang sudah lama di Makassar sebelumnya. Peperangan itu berakhir dengan ditandatanginya Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667[21].
Perjanjian Bongaya itu sangat merugikan penduduk asli Makassar. Isi perjanjian itu diantaranya mewajibkan Makassar membongkar sebagian besar benteng, menyerahkan perdagangan rempah, dan menghentikan semua impor dari sumber lain selain dari VOC belanda[22].
Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan alasan utama kenapa Syeikh Mukmin pergi dari Makassar adalah dikarenakan kekalahan Kerajaan Goa dan ditandatanginya Perjanjian Bongaya. Syeikh Mukmin mungkin merasa bahwa keadaan Makassar saat itu sulit sekali diubah. Maka ia memutuskan untuk meninggalkan kampung  halamannya demi mencari tempat lain yang lebih aman bagi dirinya sendiri khususnya dan bagi para pengikutnya pada umumnya.

BAB IV
CAH AYU SHOP

A.    CAH AYU SHOP
Ada sesuatu yang kurang apabila telah mengunjungi suatu tempat tetapi tidak membeli sesuatu yang khas dari tempat tersebut. Begitu juga orang lain, mereka pasti akan mempertanyakan kebenaran apakah seseorang pernah mengunjungi suatu tempat, selain melalui cerita juga dengan bukti, diantaranya adalah oleh-oleh. Maka tidak heran jika pada sepanjang jalan di Objek Wisata terdapat banyak sekali toko yang menjajakan souvenir dan makanan khas dari tempat tersebut.
Salah satu objek wisata yang menjadi tujuan utama bagi sebagian orang Indonesia dan mancanegara adalah Pulau Bali. Pulau yang terkenal dengan sebutan Pulau Dewata ini memiliki keindahan alam berupa banyak pantai, pegunungan, serta keunikan tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar. Hal inilah yang menjadi pemikat bagi para pelancong. Dan angka pengunjung 3 sampai 6 ribu perhari merupakan hal yang biasa pada suatu objek wisata favorit di Bali.
Seseorang yang telah mengunjungi pulau Bali, pasti telah menganggarkan sebagian uangnya untuk membeli atau paling tidak mencicipi makanan khas Bali. Disinilah, para pirausahawan mengambil celah dari kesempatan tersebut. Salah satunya adalah Pak Haji Robani, seorang perantau dari magelang jawa tengah yang memulai karir kerjanya di tempat tersebut. Dan pada akhirnya, beliau menjadi pemilik sekaligus pengelola Pusat oleh-oleh khas Bali yang diberi nama “Cah Ayu”.

1.      Sejarah Berdirinya Cah Ayu Shop
Pusat oleh-oleh Cah Ayu berada di jalur pariwisata desa Batu Bulan, kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar. Cah Ayu dirintis oleh H. Robani, seorang perantau dari Magelang Jawa Tengah. Pada awalnya beliau tidak berniat merantau di Bali, tetapi di Banyuwangi karena mempunyai saudara disana. Tetapi, karena tidak menemukan keberadaan saudaranya tersebut, akhirnya beliau memutuskan untuk menyeberang di pulau Bali.
Seminggu pertama di Bali, beliau sempat menjadi gelandangan dan akhirnya memperoleh pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan mencoba berbagai pekerjaan lain, diantaranya adalah menjaga kamar mayat, pedagang mie ayam, sayur-mayur, bakso, lampu dan lain sebagainya. Melalui pengalaman usaha tersebut, Robani mencoba berjualan kacang asin sebagai makanan khas Bali. Kacang asin pak Robani awalnya juga dijajakan berkeliling dengan sepeda ontel dari satu tempat ke tempat lain, dan melalui pemasaran di bus penumpang wisatawan.
Pusat oleh-oleh Cah Ayu berdiri pada 27 september 2002 dengan luas toko hanya 3x4 meter saja. Usaha ini mengalami pasang surut, terutama pada peristiwa bom Bali, usahanya sempat bangkrut. Tetapi, dengan dukungan dan do’a restu dari orang tuanya, Robani memulai lagi usaha tersebut. Kini, Cah Ayu Shop, merupakan Pusat oleh-oleh yang terkenal di Bali, terbukti dengan hampir 90 persen SMA se-Jawa dan Bali pernah mengunjungi tempat tersebut dan menjadikannya sebagai kajian entrepreneurship.
Cah Ayu Shop yang sekarang berdiri, menyediakan produk andalan diantaranya adalah Kacang Asin Super Cah Ayu non kolestrol karena di goreng dengan pasir. Terdapat juga Kacang Disco, yaitu kacang yang digoreng dengan terigu kemudian dibumbui berbagai rasa, seperti barbeque, udang pedas, balado, dan lainnya, sehingga ketika dimakan membuat lidah bergoyang alias berdisko.
Bukan hanya produk andalan tersebut, Cah Ayu juga menyediakan berbagai makanan ringan lainnya seperti belalang goreng, kopi bali, makanan ringan dari ketela, tempe dan lainnya. Produk yang sekarang sedang gencar dipasarkan adalah R27, yaitu minuman herbal semacam jamu dari racikan tumbuhan alami, yang berkhasiat menurunkan gula darah, asam urat, kolesterol dan penyakit lainnya. Promosi minuman herbal ini bisa langsung dilihat ditempat, yaitu melalui pelayanan chek up darah sebelum meminum ramuan herbal dan hasilnya setelah meminum ramuan herbal R27.
Penunjang keramaian Cah Ayu Shop selain dari produk khas yang ditawarkan juga melalui lokasi yang strategis. Toko ini dilewati oleh bis yang mengunjungi pasar Sukowati yang memudahkan proses marketing, Robani bekerja sama dengan para biro perjalanan yang kemudian akan mengajak mampir penumpang mereka di Cah Ayu Shop. Dengan membidik para wisatawan lokal, beliau melengkapi usahanya dengan sertifikat halal dari MUI dan benar-benar menjaga kualitas produknya agar wisatawan asing juga tidak kecewa. Dengan pangsa pasar yang cukup luas, Robani kini mengelola Cah Ayu Shop dengan 65 karyawannya. Tokonya juga menjadi tempat pemasaran bagi para pengrajin lokal di Pulau Bali.[23]

2.      Asal Usul Nama Cah Ayu
Mengapa tidak cah enom? Jawab beliau  apabila cahenom itu akan menafsirkan dua pembahasan laki-laki dan perempuan. Dan Cah Ayu merupakan identik dengan nama perempuan. Menggunakan cah ayu karena dimana-mana perempuan adalah terkesan mewah dan menarik
Identik dengan nama perempuan, terinspirasi dengan kaidahnya yo neng tawang ono lintang cahayu aku ngenteni tekamu ,,,, Cah adalah biasanya identik orang dari Magelang dan Semarang. Kalau Ayu terinspirasi dari kalangan Bali sendiri terdapat Ida Ayu. Dan cahayu ini hanyalah   percampuran Bali dan Jawa yang tidak terasa.
Cahayu R 27 disini berasal dari kata R (Robani) dan angka 27 berasal dari sholat diharuskan berjamaah akan mendapatkan pahala 27 derajat. Sholat diturunkan dimuka bumi pada tanggal 27 Rajab, 2 + 7 = 9 dan ini artinya adalah Walisongo yang ada di Jawa.

3.      Entrepreneurship Khas dari Cah Ayu Shop
Entrepreneurship yang khas dari Cahayu Shop adalah habluminallah wa habluminannas harus seimbang. Tak hanya beribadah kepada Allah, namun juga bersedekah kepada sesama.

Strategi Bisnis Cah Ayu Shop   
a.         Marketing
Pemasaran yang dilakukan oleh Bapak Rabbani dikemas menarik sehingga menarik para wisatawan untuk membeli produk-produk Cah Ayu Shop. Tak hanya pembelian secara langsung namun beliau juga menyediakan jasa pengiriman.

b.         Proses Produksi
   Proses pembuatan Kacang Asin Bali Cahayu R 27:
-       Tahap I: Proses Sortir Bahan
Penyortiran kacang mentah yang akan diolah untuk mendapatkan bahan dengan kualitas baik, karena bahan dasar ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir pada saat proses penyaringan kacang tersebut.
-       Tahap II: Proses Perendaman
Proses ini dilakukan dengan maksud untuk membersihkan debu atau kotoran yang menempel pada kacang saat pengupasan dan membersihkan dari sisa-sisa getah yang masih menempel.

-       Tahap III: Proses Pencampuran Bumbu
Setelah proses perendaman maka kacang ditiriskan kemudian dicampur dengan bawang putih yang sudah dihaluskan dan dicampur dengan sedikit garam dengan komposisi kacang 100 kg dan bawang putih 3 kg.
Setelah itu dibiarkan selama 12 jam dan diaduk sampai tercampur rata.

-       Tahap IV: Proses Penjemuran/Pengeringan
Kacang yang sudah tercampur dengan bumbu dan telah didiamkan hingga bumbu merasuk, kemudian dijemur dibawah matahari langsung selama 5-6 jam atau sampai setengah kering.

-       Tahap V: Proses Penggorengan
Proses penggorengan kacang asin ini sedikit lebih unik dibandingkan dengan proses penggorengan kacang pada umumnya, karena dalam proses ini kacang tidak di goreng menggunakan minyak akan tetapi pasir laut yang berasal dari daerah pantai Klungkung[24] yang telah melalui proses sterilisasi terlebih dahulu sehingga higienis serta layak untuk menggoreng. Dan selama proses penggorengan diperlukan nyala api yang tidak terlalu besar sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam proses penggorengan ini diperlukan seorang tenaga yang memiliki pengalaman yang cukup dalam masalah pengolahan Kacang Asin Bali ini.

-       Tahap VI: Proses Seleksi II
Kacang yang sudah matang tidk begitu saja langsung  dikemas tapi terlebih dulu diseleksi antara kacang yang layak dipasarkan atau tidak. Sehingga Kacang Asin Bali merek Cahayu R 27 iini memiliki kwalitas dan rasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Adapun kacang yang tidak sesuai dengan standard perusahaan bisa dimanfaatkan untuk bumbu pecel atau makanan ternak.

-       Tahap VII: Proses Pembungkusan
Pada proses terakhir dari pembuatan Super Kacang Asin Bali merk Cah Ayu R 27 ini, kacang yang telah diseleksi dengan teliti kemudian dikemas sesuai dengan ukuran berat seperti tertera pada kemasan kemudian dipasarkan di outlet Cah Ayu R 27.
c.         Jumlah Pegawai
   Jumlah pegawai Robani adalah 65 orang.

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar
Dengan adanya Pusat Oleh-oleh Cah Ayu Shop ini menyediakan lapangan kerja bagi 65 orang disekitar Kabupaten Gianyar. Hal tersebut dapat mengurangi pengangguran di Pulau Bali yang padat penduduk. Cah Ayu Shop  menyediakan berbagai makanan khas Bali, sebagai pusat oleh-oleh khas Bali.  Ini memberikan  lapangan pekerjaan bagi usaha kecil pada masyarakat kecil disekitar. Dan ini akan mempermudah bagi masyarakat luar Bali untuk mencari oleh-oleh khas ketika akan pulang ke daerahnya.

4.      Filsafat Kerja dan Etika Bisnis Cah Ayu Shop
Karena bom Bali 2002, banting tulang Robani ambruk. Usahanya hancur dan harus pulang kembali ke Magelang. Tetapi dengan falsafahnya, “pari nek ambruk angger gelem ngadek dewe ono isine”,[25] maka ia pun bangkit lagi. Ia merintis kembali usahanya hingga sukses sampai sekarang. Dari bom Bali itulah Robani hijrah, dari keadaan terpuruk menjadi sukses dengan berbagai usahanya.[26]
Jika ditanya, apa rahasia sukses dari Robani, beliau  mengatakan 3 hal. Yang pertama adalah do’a ibu, do’a guru dan dukungan dari istri. Dari penjelasan beliau, sudah bisa dilihat bahwa beliau adalah orang yang kencang memegang prinsip beragama. Setiap langkah yang diambil selalu terinspirasi dari Perintah Tuhan. Diantaranya adalah perintah untuk bersedekah, memulai segalanya dengan keinginan yang sungguh-sungguh dan do’a, juga dengan usaha maksimal dan ibadah yang konsisten.[27]
Allah berfirman:
وَإِذا سَأَلَكَ عِبادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذا دَعانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186)

5.      Peran Ilmu Agama dan Filsafat dalam Dunia Bisnis
Dari sertifikat halal yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa beliau berusaha memenuhi standar syarat untuk mengkonsumsi makanan yang baik dan halal. Melalui karir bisnis yang dirintis, Robani telah memenuhi tiga aspek dasar dari etika bisnis yaitu melalui aspect ekonomi dengan memunculkan berbagai inovasi baru untuk memperoleh keuntungan yang besar. Yang kedua adalah dilihat dari aspek hukum, yaitu mendaftarkan usahanya pada badan hukum yang bersangkutan dan menjalani usahanya sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa adanya kecurangan dalam management. Dan yang terakhir adalah dari aspek moral, yaitu adanya rasa saling menghargai dan toleransi tinggi serta apresiasi beliau pada karyawannya yang berbeda agama dan mengutamakan kesejahteraan para pegawainya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ  
Artinya:”Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."(QS. Al-Kafirun: 6)
Sebagai umat Muhammad yang dulunya juga seorang entrepreneur, etika bisnis beliau yang dimiliki dan diterapkan diantaranya:[28]
1.         Shidiq (jujur),
2.         Amanah (percaya),
3.         Tabligh (menyampaikan),
4.          Fathonah (cerdas).
5.         Dengan memiliki sifat-sifat tersebut, diharapkan seorang entreprener Muslim cepat sukses dunia akhirat.

B.     ANALISIS
Menurut al-Qur’an, manusia adalah sebuah kesatuan fungsional antara ‘abd dan khalifah. ‘Abd ditandai dengan ketaatan religius dan moralitas, sedangkan khalifah ditandai dengan kreativitas dalam merumuskan konsep dan merealisasikannya di dunia ini. Dalam hal ini, tidak ada dualitas pengetahuan di dunia Islam. pengetahuan di dalam Islam adalah monoteistik sebagai kesatuan dan integritas wujud Keagungan dan ke-Maha-Pujian Tuhan.
Di sinilah ayat-ayat entrepreneurship yang menyeru manusia sekaligus sebagai ‘abd dan khalifah menjadi penting untuk membangkitkan kembali semangat entrepreneur demi meningkatkan mutu dan kualitas hidup manusia dan sekaligus mengentaskan kemiskinan. Al-Qur’an menggunakan beberapa kata untuk mengungkapkan Bekerja, di antara kata-kata tersebut adalah ‘amal. Meskipun juga ada kata-kata lain yang memiliki makna bekerja seperti kasb, fi’l, dan sa’y.
Di antara kata tersebut yang paling sering digunakan adalah kata ‘amal. Kata ‘amal ditemukan di dalam al-Qur’an sebanyak 425 kali. Dalam bentuk madhi sebanyak 99 kali, bentuk mudhari’ sebanyak 164 kali, bentuk amar sebanyak 11 kali, bentuk masdar sebanyak 70 kali dan dalam bentuk isim fa’il sebanyak 13 kali. Kata ‘amal dalam bahasa Arab merujuk pada dua hal. Pertama, kebanyakan kata ‘amal digunakan untuk menunjuk setiap usaha manusia dalam mewujudkan tujuan ekonomis (iqtishadiyyah). Kedua, kata ini menunjukkan ‘amal (perbuatan) itu sendiri.[29]
Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencaharian yang diperbolehkan Allah swt. Sehingga bekerja di dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok.
Konsep amal di dalam Islam sangat luas tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang saja. Amal adalah setiap pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indera ataupun seni.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menyerukan kepada manusia untuk bekerja. Berikut ini adalah contoh ayat-ayat tentang perintah bekerja, yang kemudian akan dielaborasi secara sederhana tapi ‘mengena’.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. al-Hajj :77)
Berdasarkan ayat di atas bisa dipahami bahwa pertama, berbuat baik (bekerja secara baik dan professional) merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Kedua, bekerja yang selama ini seringkali dikaitkan dengan urusan dunia pada dasarnya setara atau sejajar dengan ruku’, bersujud dan menyembah Allah swt. Ini artinya bahwa bekerja juga merupakan ibadah.

Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi:110)
Dalam ayat ini, dinyatakan secara jelas bahwa barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah maka bekerjalah. Ini artinya bekerja itu sama dengan bertemu Allah, sebuah ganjaran yang paling tinggi yang pernah diberikan Allah kepada hamba-Nya, yakni perjumpaan dengan-Nya. Di dalam al-Qur’an menceri ilmu hanya diganjar dengan peningkatan derajat. Namun bekerja diganjar dengan bertemu Allah.
Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)

Ayat ini, di samping memerintahkan bekerja juga mengingatkan bahwa bekerja sambil mengingat Allah (bekerja sesuai dengan prosedur yang Allah berikan) akan mendatangkan keuntungan.
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-Nahl: 97)
Ayat ini menjanjikan kepada manusia bahwasanya balasan bekerja adalah kehidupan yang layak dan pahala yang baik melebihi nilai kebaikan pekerjaan itu sendiri. Ini menyiratkan bahwa bekerja itu memiliki nilai plus.
Masih banyak ayat lain yang menunjukkan tentang pentingnya bekerja untuk kebaikan di dunia dan di akhirat. Bekerja atau entrepreneurship dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi pelakunya, bahkan bekerja menjadi salah satu ciri orang yang beriman. Sehingga bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah swt. Karena bekerja adalah ibadah maka bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran yang tertinggi dari sebuah keimanan, yakni bertemu Allah (liqa’u rabbih). Karena bekerja adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syari’at Allah, yakni dengan cara yang halal, baik dan bermanfaat. Karena bekerja adalah ibadah maka tujuan bekerja hanyalah untuk Allah swt bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.

BAB V
RELEVANSI MATERI ILMU USHULUDDIN DENGAN
OBYEK KUNJUNGAN

Dalam Masih banyak ayat lain yang menunjukkan tentang pentingnya bekerja untuk kebaikan di dunia dan di akhirat. Bekerja atau entrepreneurship dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi pelakunya, bahkan bekerja menjadi salah satu ciri orang yang beriman. Sehingga bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah swt. Karena bekerja adalah ibadah maka bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran yang tertinggi dari sebuah keimanan, yakni bertemu Allah (liqa’u rabbih). Karena bekerja adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syari’at Allah, yakni dengan cara yang halal, baik dan bermanfaat. Karena bekerja adalah ibadah maka tujuan bekerja hanyalah untuk Allah swt bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.
Toleransi berasal dari bahasa Latin: tolerare artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.
Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya.
Ada tiga macam sikap toleransi, yaitu:
1.      Negatif dimana isi ajaran dan penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya dibiarkan saja karena dalam keadaan terpaksa. Contoh Partai Komunis Indonesia (PKI) atau orang-orang yang beraliran komunis di Indonesia pada zaman Indonesia baru merdeka.
2.      Positif dimana isi ajaran ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Contoh Anda beragama Islam wajib hukumnya menolak ajaran agama lain didasari oleh keyakinan pada ajaran agama Anda, tetapi penganutnya atau manusianya Anda hargai.
3.      Ekumenis dimana isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsur-unsur kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri. Contoh Anda dengan teman Anda sama-sama beragama Islam atau Kristen tetapi berbeda aliran atau paham.

Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.[30] Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.
Toleransi dan kerukunan antar umat beragama bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Kerukunan berdampak pada toleransi; atau sebaliknya toleransi menghasilkan kerukunan; keduanya menyangkut hubungan antar sesama manusia. Jika tri kerukunan umat beragama (antar umat beragama, intern umat seagama, dan umat beragama dengan pemerintah) terbangun serta diaplikasikan pada hidup dan kehidupan sehari-hari, maka akan muncul toleransi antar umat beragama. Atau, jika toleransi antar umat beragama dapat terjalin dengan baik dan benar, maka akan menghasilkan masyarakat yang rukun satu sama lain.
Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat: 13).
Rasululullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sebaiknya berkata yang baik atau diam. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya.” (HR. Muslim)[31]
Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik.
Toleransi (Arab: as-samhah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.
Toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minannas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallah).
Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.
Dalam konteks kekinian, inklusivisme termasuk satu dari tiga bagian tipologi sikap beragama dalam perspektif teologis selain eksklusivisme dan pluralisme. Seorang penganut agama yang bersifat eksklusif memandang bahwa agamanyalah yang paling benar dan agama lain sesat dan salah. Penganut agama yang bersifat inklusif memandang bahwa ‘keselamatan’ bukan monopoli agamanya karena penganut agama lain yang secara implisit berbuat benar menurut agamanya akan mendapatkan keselamatan juga. Sedangkan orang yang bersifat pluralis memandang bahwa semua agama benar dan sama.[32]
Hubungan masyarakat antar agama di Pulau Bali yang terkenal dengan Pulau Seribu Pura pun berjalan dengan baik. Sebelum terjadinya bom Bali tahun 2002, masyarakat Bali yang terkenal ramah dengan siapapun. Tetapi setelah ada bom meledak dengan kedok berjuang di jalan Allah, maka banyak orang Islam disna menjadi korbannya. Akan tetapi dengan berjalannya komunikasi antar umat beragama dari waktu ke waktu dan juga campur tangan pemerintah setempat, ada benang merah yang dapat diurai. Ternyata ada beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama dan ingin menghancurkan kerukunan yang telah terjalin dengan baik.
Hingga kini dengan sikap toleransi yang diterapkan warga, maka tidak lagi ada diskriminasi hak bagi warga Muslim maupun yang lainnya. Semuanya sama di depan hukum dan kerukunan, baik dalam bidang keagamaan, sosial, budaya, ekonomi dan yang lainnya berjalan dengan lancar. Terbukti dengan berbagai hal, diantaranya; saling menyambangi ketika hari besar agama masing-masing, saling mengundang ketika mengadakan hajatan, serta tidak mencampur adukkan urusan agama dengan urusan kemasyarakatan.


BAB VI
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Penguasaan teori haruslah seimbang dengan penguasan praktek dalam bermasyarakat. Dalam keberagaman, Masyarakat Muslim Bali haruslah dapat bertahan (survive) dengan keadaan sekitar yang mayoritas beragama Hindu. Terbukti dari beberapa object kunjungan yang tetap mampu bertahan di sana, antara lain:

1.      Pondok Pesantren Roudlotul Khuffadz
Sebagai pondok huffadz pertama di Bali, Pondok ini mampu bertahan dan bahkan berkembang dengan pesatnya sampai sekarang. berbagai hambatan yang muncul, terutama adanya peristiwa Bom Bali yang memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan pondok.
KH. Nurhadi, sebagai pendiri pondok pesantren tersebut menerapkan metode berbeda dalam menghafal. Tak seperti pondok lain yang kebanyakan hanya menekankan aspek hafalannya, beliau juga menekankan pada penguasaan penulisan serta tafsirnya. Yang dalam hal ini berpengaruh besar terhadap penguasaan al-Qur’an. Sehingga bisa mengurangi salah tafsir di kalangan masyarakat. Dan dapat memperbaiki nama Islam yang dikenal denga lebel teroris yang notabennya terjadi karena kesalahan dalam penafsiran.

2.      Kampung Islam Bugis
        Sebagai kampung Islam pertama di Bali, Kampung ini memiliki banyak keistimewaan. Sebagai kampung Muslim pertama, Islam yang di bawa pun tidak berasal dari tanah Jawa, seperti Islam di Bali pada umumnya. Namun berasal dari Makasar, kampung Bugis.
Meski penduduk Muslim tetaplah menjadi minoritas, namun kampung tersebut tetaplah menjadi kampung yang mampu bertahan ditenga-tengah masyarakat Hindu Bali yang kental dengan bebagai upacara peribadatan.
Hubungan masyarakat antar agama pun berjalan secara baik. Terbukti dengan berbagai hal, diantaranya; saling menyambangi ketika hari besar agama masing-masing, saling mengundang ketika mengadakan hajatan, serta tidak mencampur adukkan urusan agama dengan urusan kemasyarakatan.

3.      Cah Ayu Shop
Sebagai sentra wisata Indonesia, Bali diminati oleh wisatawan domestic maupun mancanegara. Dan tak lengkap kiranya jika hanya mengunjungi tempat wisata saja, tanpa membeli oleh-oleh khas bali. Cah Ayu Shop, adalah sebuah toko Bapak Robani yang menyediakan aneka jajanan khas Bali.
Selain tempatnya yang strategis, Produk andalan dari Cah Ayu Shop yang berupa Kacang asin ini memiliki berbagai keistimewaan. Salah satunya adalah kacang yang digoreng dengan media pasir. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri pada wisatawan.
Robani yang asli Magelang in merupakan sosok entrepreneur muslim yang sukses. Hal ini terbukti dengan banyaknya karyawan beliau. Hal ini terjadi karena keuletan beliau dalam berusaha, serta tidak mengesampingkan asas entrepreneur sejati, yakni mengedepankan hubungan dengan Sang pencipta, juga pada sesama.

B.     PENUTUP
سُبْحانَكَ لا عِلْمَ لَنا إِلاَّ ما عَلَّمْتَنا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
DAFTAR PUSTAKA
-          Abd al-Baqi, M. Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzh al-Qur’an al-Karim, 1364 H, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah
-          Bawa Atmadja, Nengah, Genealogi Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemerintahan Hindhu di Bali, 2010, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-          Christian, Pelras, Manusia Bugis, 2006, Jakarta: Nalar, cet. I
-          Hamdan Basyar, Identitas Minoritas Muslim di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan, 2010, Jakarta: LIPI Press
-          Hasil diskusi dengan H. Mansyur, salah satu sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’ Serangan Denpasar Selatan
-          http://bali.bps.go.id/
-          http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis
-          http://wiki.aswajanu.com/Pesantren_di_Propinsi_Bali
-          http://www.rappang.com/2010/02/kampung-bugis-di-bali-serangan.html
-          Maimunah, Binti, Tradisi Intelektual Santri, 2009, Yogyakarta: Teras
-          Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tt., vol. I
-          Nengah, Bawa Atmadja, Geneologi Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Hindhu di Bali, 2010, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I
-          Riyadi, M. Irfan, dkk, Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan, 2009, Ponorogo: STAIN Press Ponorogo
-          Seminar H. Robani di Cah Ayu Shop pada 5 Februari 2013
-          Setia, Putu, Bali yang Meradang, 2006, Denpasar: Pustaka Manikgeni
-          Setia, Putu, Mendebat Bali, 2002, Denpasar: Manikgeni
-          Wawancara dengan KH. Nurhadi Ponpes Raudhatul Huffadz pada 4 Februari 2013
-          Zagorin, Perez, How the Idea of Religious Toleration Came to the West, 2003, Princeton University Press

LAMPIRAN
Daftar Peserta Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Kelompok III
Pembimbing: Muh. Syaifuddien Zuhriy, M. Ag
NO
NIM
NAMA
JURUSAN
1.       
094111026
NILNAS SA’ADAH
AF
2.       
094111028
SITI KHOIRUL AF’IDAH
AF
3.       
094111030
UMI HAFSAH
AF
4.       
094111031
YULLAILY ROHMATIN
AF
5.       
094211062
MUHAMMAD TAUFIK
TH
6.       
094211063
MUHAMMAD ZUBAIR HASAN
TH
7.       
094211064
MUHAMMAD AKMALUDDIN
TH
8.       
094211067
MUNFARID
TH
9.       
094211070
SHOHIBUL HABIB
TH
10.   
094211059
MOH AS’AD KHOLIL ALIM
TH
11.   
094211035
AHMAD YAZID TAQI
TH
12.   
094211044
ALFI QONITA BADI’ATI
TH
13.   
094211045
AMINATI
TH
14.   
094211048
AUFAL KHIMA
TH
15.   
094311001
EKA SEPTI ENDRIANA
PA
16.   
094411015
ROFI’ATUS SHOLIHAH
TP
17.   
094411017
SULASTRI
TP
18.   
094411027
ASTRI YULIANA
TP
19.   
094411029
AMALIA FITRIANI
TP
20.   
094411018
SYAEFUL AMRON
TP
21.   
094411019
UMAR FARUK
TP
22.   
094411021
AHMAD ATHO’ILLAH
TP
23.   
094411023
ARIFIN
TP


Susunan Kelompok III

Pembimbing:
Muh. Syaifuddien Zuhriy, M. Ag

Ketua: Muhammad Akmaluddin
Sekretaris: Alfi Qonita Badi’ati
Bendahara: Astri Yuliana

Anggota:
Nilnas Sa’adah, Siti Khoirul Af’idah, Umi Hafsah, Yullaily Rohmatin, Muhammad Taufik, Muhammad Zubair Hasan, Munfarid, Shohibul Habib, Moh As’ad Kholil Alim, Ahmad Yazid Taqi, Aminati, Aufal Khima, Eka Septi Endriana, Rofi’atus Sholihah, Sulastri, Astri Yuliana, Amalia Fitriani, Syaeful Amron, Umar Faruk, Ahmad Atho’illah, Arifin

Rundown Kunjungan:
Senin, 13 Februari 2013: Pondok Pesantren Raudlatul Huffadz
Selasa, 14 Februari 2013: Cah Ayu Shop
Rabu, 15 Februari 2013: Kampung Muslim Bugis Serangan



[1] http://bali.bps.go.id/ di akses pada 13 Februari 2013
[2] Beliau adalah ulama Kudus dan pendiri Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an di Desa Kajeksan Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Santrinya tersebar ke seluruh penjuru Nusantara
[3]  Di Tabanan, peran Islam dan Muslim telah ada sejak awal abad 19. Oleh karena itu kebersamaan dan keharmonisan umat Islam dan masyarakat Hindu di Bali telah terbentuk.
[4]Nengah, Bawa Atmadja, Geneologi Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Hindhu di Bali, 2010, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I. hlm 373
[5] Ibid. hlm 373
[6] Para ulama Islam yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Mereka cenderung menggunakan pendekatan budaya agar Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa yang sangat kental dengan adat agama yang mereka anut sebelumnya. Sehingga muncul istilah seperti akulturasi yang sampai sekarang hasil akulturasi budaya tersebut masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Jawa.
[7]Konsep tentang toleransi dalam Islam dapat dilihat dalam Piagam Madinah yang menunjukkan bahwa nabi Muhammad mengakui dan melindungi pemeluk agama lain dan juga ayat al- Qur’an yang berbunyi لاإكراه فى الد ين  “tidak ada paksaan dalam agama”
[8]Hamdan Basyar, Identitas Minoritas Muslim di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan , 2010, Jakarta: LIPI Press
[9] Berkembang rumor bahwa kaum Hindu akan dikenai sanksi manakala membeli bakso, tahu goreng, mie goreng atau makanan dan jasa lain yang ditawarkan warga muslim. Ada aturan adat yang akan mendenda sampai Rp. 50.000 bagi orang-orang Bali yang membeli bakso Jawa (kebanyakan muslim). Isu itu disertai langkah koperasi Bali mendirikan bakso-bakso babi Bal/Bakso Pakramani. Langkah ini sempat menggejala diseluruh wilayah Bali, tak terkecuali kabupaten Tabanan. Tujuan eksplisitnya adalah -memberdayakan ekonomi umat Hindu, tetapi bagi komunitas Muslim langkah ini dinilai memiliki tujuan implisit untuk mematikan perekonomian kaum pendatang agar mereka ”pulang kampung".(Hamdan Basyar, Identitas Minoritas Muslim di Indonesiai: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan , 2010, Jakarta: LIPI Press) dikutip dari Putu Setia, Bali yang Meradang, 2006, Denpasar: Pustaka Manikgeni , hlm. 20.
[10] Di Kabupaten Tabanan diterapkan aturan, untuk mendapatkan KTP umat Islam harus punya tanah rumah dengan menunjukkan sertifikat rumah. Tanpa persyaratan ini, meski si muslim telah puluhan tahun tinggal di Bali, dia tak akan diterima sebagai warga dan dianggap sebagai penduduk liar .

[11] Ibid. dikutip dari Putu, Setia. Mendebat Bali, 2002, Denpasar: Manikgeni,. hlm.124
[12] http://wiki.aswajanu.com/Pesantren_di_Propinsi_Bali diakses pada 14 Februari 2013
[13] Wawancara dengan KH. Nurhadi Ponpes Raudhatul Huffadz pada 14 Februari 2013
[14] Wawancara dengan KH. Nurhadi Ponpes Raudhatul Huffadz pada 14 Februari 2013
[15] Teori yang menekankan individu sebagai objek yang secara langsung dapat ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lainnya. Binti, Maimunah, Tradisi Intelektual Santri, 2009, Yogyakarta: Teras, hlm. 60 dikutip dari Riyadi, Soeprapto, Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern, 2002 hlm. 63

[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis diakses pada 11 Februari 2013
[18] Hasil diskusi dengan H. Mansyur, salah satu sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’ Serangan Denpasar Selatan
[19] Hasil diskusi dengan H. Mansyur, salah satu sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’ Serangan
[20] Hasil diskusi dengan H. Mansyur, salah satu sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’ Serangan
[21] Christian Pelras, Manusia Bugis, 2006, Jakarta: Nalar, cet. I hlm.165-166.
[22] Ibid. hlm. 166.
[23] Seminar H. Robani di Cah Ayu Shop pada 5 Februari 2013
[24] Terletak 40 kilometer arah timur Denpasar
[25] Artinya “jika ada padi yang tumbang dan ada keinginan untuk berdiri lagi, maka pasti akan ada isinya. Maksudnya, harus mau bangkit jika ingin berhasil
[26] Seminar H. Robani di Cah Ayu Shop pada 5 Februari 2013
[27] Ibid.
[28] Seminar H. Robani di Cah Ayu Shop pada 5 Februari 2013
[29] Abd al-Baqi, M. Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzh al-Qur’an al-Karim, 1364 H, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, hlm. 483 – 488
[30] Zagorin, Perez, How the Idea of Religious Toleration Came to the West, 2003, Princeton University Press, hlm. 14,
[31] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tt., vol. I hlm. 68
[32] M. Irfan Riyadi, dkk, Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan, 2009, Ponorogo: STAIN Press Ponorogo, hlm. .2

Post a Comment

0 Comments