BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia
yang kaya akan seni dan budaya. Sebagai pulau wisata, Bali dikenal memiliki
sejuta pesona. Hal ini terbukti dengan banyaknya wisatawan asing maupun
domestic yang berkunjung pada tiap tahunnya. Bahkan terkadang Pulau Dewata ini
lebih dikenal di kancah internasional dibanding nama Indonesia.
Pulau Bali termasuk kecil bila dibandingkan
dengan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Luasnya adalah 5.632,86 km2,
dan dihuni oleh penduduk yang berjumlah ± 3 890 757 jiwa. Perbandingan pemeluk
agama satu dengan yang lainnya adalah sebagai berikut: pemeluk Agama Hindu (96
%), Agama Islam (2,5 %), Agama Protestan (0,5 %), Agama Katholik (0,5 %), dan
Agama Budha (0,5 %). Oleh karena penduduk Bali sebagian besar penganut Agama
Hindu maka corak masyarakat Bali terutama di pedesaan akan tampak sangat khas.[1]
Sebagai pulau wisata, Bali juga kental dengan
kultur relegiusitasnya. Umat Hindu Bali sangatlah kental dengan upacara-upacara
keagamaan. Hal tersebut merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi
wisatawan. Selain arsitektur yang bernilai seni tinggi. Dengan banyaknya
wisatawan mancanegara yang berlibur di Pulau Bali tentulah membawa dampak bagi
Bali pada khususnya, dan juga Indonesia pada umumnya.
Kultur religius semakin bergeser dengan
kehidupan modern. Potret kehidupan barat bisa tergambar di Pulau Dewata. Hal
ini yang menjadikan pemeluk keagamaan yang kurang memahami dasar-dasar agama
secara pasti, menyebabkan melakukan beberapa aksi yang mengundang sensasi. Bom
Bali I dan II salah satunya. Yang dilakukan oleh sekelompok Muslim radikal. Hal
ini menyebabkan hubungan antara satu pemeluk agama dengan yang lain menjadi
merenggang.
Fenomena tersebut menjadi menarik untuk
diteliti. Karena Ushuluddin dengan dasar teori keagamaan dan berbagai derivasi
keilmuan yang mumpuni telah dipelajari oleh peserta Kuliah kerja Lapangan (KKL)
Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang Tahun
2013 di Pulau Bali pada 3 – 7 Februari 2013. Karena kemampuan penguasaan dalam pemahaman
teori belum tentu bersinergi jika menghadapi tantangan masyarakat dengan
berbagai fenomena yang ada.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam Laporan ini
adalah:
1.
Bagaimana Pondok Pesantren Raudhatul
Huffadz di Tabanan Bali diterima masyarakat?
2.
Bagaimana kewirausahaan di Cah Ayu Shop?
3.
Bagaimana kehidupan Kampung Muslim
Bugis di tengah-tengah komunitas Hindu Bali?
C.
Tujuan
Dengan dilaksanakannya kegiatan KKL ini,
mahasiswa dapat melakukan perbandingan antara teori yang diterima di
perkuliahan dengan praktik yang ada di lapangan. Adapun tujuan dari kegiatan
KKL ini, dapat diperinci sebagai berikut:
1.
Memberikan pengetahuan secara langsung
tentang sejarah objek yang dikunjungi, mengenai masalah, serta solusi yang
mereka lakukan.
2.
Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk melakukan perbandingan antara teori dan praktik mengenai
kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
3.
Memperkaya wawasan yang berkaitan
langsung dengan program studi masing-masing dalam rangka meningkatkan kemampuan
dan kepekaan terhadap perkembangan zaman.
4.
Mempersiapkan wirausaha muda yang handal,
profesional, dan amanah.
D.
Manfaat
Bagi mahasiswa:
1.
Mengetahui secara langsung profil objek
yang dikunjungi. Baik dari sejarah, mekanisme kerja, serta mengetahui cara
untuk tetap bertahan dalam menghadapi hambatan-hambatan yang muncul.
2.
Mempraktekkan teori-teori yang
telah diperoleh dalam perkuliahan dalam kehidupan riil kemasyarakatan.
3.
Terinspirasi serta termotivasi
untuk mendirikan usaha sesuai minat dan pendidikan setelah memperoleh gambaran
di lapangan.
Manfaat bagi universitas:
1.
Memperoleh masukan terkait isu-isu
terkini dalam dunia kerja serta usaha sebagai bahan pengembangan penelitian dan
pendidikan.
2.
Meningkatkan dan memperluas
jaringan kerjasama (network) dengan institusi yang dikunjungi.
BAB II
PONDOK PESANTREN RAUDHATUL HUFFADZ
A.
PONDOK PESANTREN RAUDHATUL HUFFADZ
1.
Sejarah Pendirian Pondok Pesantren
Pendirinya
adalah KH. Nurhadi. Keprihatinan beliau melihat kondisi Pulau Bali yang belum
tersentuh nilai- nilai Islam seperti di Pulau Jawa membuat beliau sebagai murid
Kyai ternama dari Kudus yaitu Romo KH. Muhammad Arwani Amin[2]
dan juga motivasi beliau yang bertujuan agar bagaimana Bali dapat diisi dengan
al-Qur’an maka beliau berkeinginan untuk menyebarkan Islam di Pulau seribu Pura
tersebut. Dengan bekal kemantapan beliau terhadap ajaran- ajaran yang ada dalam
al- Qur’an serta dukungan dari KH. Muhammad Arwani Amin Kudus untuk mendirikan
pondok pesantren penghafal al-Qur’an, beliau bertekad hijrah ke Bali.
Kedatangan
beliau pada tahun 1979 diterima oleh penduduk Bali dan disanalah bersama enam
temannya yang sama- sama berlatarbelakang Nahdlatul Ulama’, mereka membentuk
sebuah komunitas Islam kecil di Pasar Bali. Komunitas tersebut terdiri dari
orang- orang yang berekonomi lemah seperti pedagang- pedagang kecil di pasar
dan asongan. Ketika pertama kali tiba di Tabanan, penduduk disana sebagian
sudah ada yang masuk Islam dan juga sudah ada musholla yang didirikan.[3]
Sedikit demi sedikit penduduk yang beragama Hindhu ada yang masuk Islam dan
orang- orang yang beragama Islam yang ada di Bali pun tetap dapat hidup rukun
dengan penduduk Bali yang beragama non-Muslim.
Pada dasarnya
masyarakat Bali adalah masyarakat yang ramah dan memiliki rasa toleransi yang
tinggi dengan agama lainnya. Hal tersebut didasari atas gagasan toleransi yang
terdapat dalam agama Hindhu yakni ajaran tat twam asi dan ahimsa
(nir kekerasan). Tat twam asi menekankan pada persaudaraan universal
yang berarti anti terhadap membeda- bedakan agama, etnis, kelas social dan
lain- lain, ahimsa adalah larangan untuk melakukan kekerasan atau himsa
dalam pikiran, ucapan dan tindakan.[4]
Jadi jika seseorang melakukan kekerasan terhadap orang lain maka sama halnya
melakukan kekerasan terhadap diri sendiri. Kedua ajaran tersebut menjadi
schemata bagi umat Hindhu dalam bertoleransi dengan agama lainnya. Apalagi
schemata lebih kuat lagi penerapannya pada masyarakat Bali karena umat Islam
berperan dalam system ekonomi pasar dan secara struktur social orang Islam
sangat adaptif, sehingga hubungan antaretnik dapat terhindar dari konflik.[5]
Disamping itu
juga kearifan social yang dikembangkan oleh orang Islam di Bali mengarahkan
mereka untuk berpola piker rwa bhineka, yang mana artinya adalh orang
Islam menyadari posisi mereka sebagai orang pinggiran dan orang Hindhu Bali
berada pada posisi pusat. Pinggiran tidak mungkin meniadakan pusat adapun pusat
bisa melenyapkan pinggiran dengan kekuasaannya. Oleh karena itu orang pinggiran
dalam hal ini harus bisa beradaptasi dan mendekatkan diri dengan yang pusat.
Pendekatan tersebut juga dilakukan Kyai Nurhadi agar bisa diterima oleh masyarakat
Bali.
Dalam
menyebarkan Islam sendiri beliau menggunakan metode dakwah Walisongo.[6]
Oleh karenanya, toleransi pada masyarakat Bali tidak terlepas dari visi Islam
tentang toleransi yang secara substansial menyatu dengan agama Islam.[7]
Dengan
diterimanya kedatangan Kyai Nurhadi dan keberhasilan beliau bersama teman-
temannya dalam membentuk komunitas Islam di tengah- tengah minoritas, beliau
melanjutkan perjuangannya dengan rencana pendirian musholla- musholla kecil di
lingkungan penduduk. Akan tetapi langkah beliau tersebut tidaklah semudah yang
dibayangkan, mengingat lahan tanah di Bali sangat mahal. Disamping itu ada
beberapa hambatan yang membuat usaha Kyai untuk membangun Musholla membutuhkan
usaha lebih keras lagi.
Hambatan Membangun Peribadatan
a.
Peristiwa ledakan bom Bali ditahun
2002
Hasil dari
kajian 2009 memperlihatkan bahwa puncak ketegangan hubungan antara umat Islam
dengan warga Bali secara umurn adalah setelah terjadinya peristiwa born Bali
pada 2002 Ketika itu para tokoh agama lebih sering bertemu. Para pemimpin umat
beragama sepakat untuk "sama-sama berjaga dan menahan diri."
Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengendalikan masyarakat agar tidak saling
menuduh dan mengakibatkan kerusuhan. Selain itu, antara umat Islam dan warga
Bali sepakat bahwa peristiwa born Bali tidak boleh dikaitkan dengan etnis, agama
dan kepercayaan.[8]
Kendati demikian, pasca born Bali tetap merupakan saat-saat yang sulit bagi umat
Islam di Bali. umat Islam tetap menjadi sasaran kecurigaan, sapaan beralih
menjadi ejekan yang menyudutkan umat Islam pada waktu itu.
Sektor
perekonomian yang menunjang kehidupan rakyat lumpuh. juga mahalnya harga tanah
tidak memungkinkan adanya tanah wakaf dari masyarakat Islam, karena kondisi
mereka tentunya dalam kekurangan. Selain itu pasca bom Bali ada pelarangan bagi
pedagang muslim pendatang yang tergolong dari pedagang kecil dan informal untuk
berdagang.[9]
b.
Munculnya peraturan daerah (Perda)
Isi dari Perda
tersebut menyatakan bahwa setiap ada pendirian tempat ibadah harus ada
komunitas minimal 60 kepala keluarga sampai 100 kepala keluarga. Dampak dari
peristiwa pengeboman menjadikan umat Islam tersudut serta kerugian dalam bidang
ekonomi menjadikan orang- orang Islam pendatang kembali ke daerah asalnya. Hal
ini mengurangi jumlah umat Islam yang masih berjumlah sedikit pada waktu itu.
c.
Harus ada ijin lingkungan dan ijin
dari Gubernur
d.
Masalah kartu identitas (KTP atau
KIPEM).[10]
Hambatan-
hambatan yang dialami oleh penduduk Tabanan dan khususnya untuk Kyai Nurhadi
dalam melanjutkan usaha pembangunan tempat ibadah seakan akan menjadi sesuatu
yang tidak mungkin terjadi. Karena dengan adanya aturan- aturan tersebut banyak
musholla yang sebelumnya telah lama dibangun sebelumnya kemudian ditutup.
Perjuangan untuk dapat mendirikan musholla tidak berhenti begitu saja. Cara
lain yang ditempuh yaitu dengan system kontrak tanah karena mengharapkan
mendapat tanah wakaf dan membeli tanah sangat sulit. Tanah yang didapatkan pun
tidak terletak dilingkungan yang seratus persen mayoritas Islam tapi di
lingkungan yang minoritas Muslimnya yang mana banyak pekerja Muslim bekerja
pada orang- orang non- muslim tersebut. Dengan begitu memudahkan umat Islam
untuk dapat menjalankan ibadahnya penduduk Tabanan sendiri .
Setelah itu,
beliau berusaha untuk membangun system perekonomian kembali. Tujuannya adalah
untuk menghilangkan kegiatan- kegiatan perjudian yang merebak di masyarakat
agar mereka bisa menyibukkan dengan hal- hal yang positif. Dalam kehidupan
masyarakat Bali sendiri juga dikenal "budaya tajen" atau
sabung ayam. Perjudian lokal khas Bali ini seringkali dikaitkan dengan ajaran
Hindu "tabuh rah", yakni upacara yang mempersembahkan darah binatang,
umumnya ayam.[11]
Dengan bantuan
Bupati setempat dengan memberikan tanah untuk digunakan untuk lahan membuka
lapangan pekerjaan, kemudian Kyai Nurhadi membuka pasar malam. Dari sinilah
awal perekonomian dibangun kemudian semakin lama perekonomian masyarakat muslim
pun meningkat. Setelah perekonomian menjadi stabil, penduduk setempat kemudian
ikut serta dalam proses pembangunan musholla. Karena tujuan utama Romo Kyai
Nurhadi adalah melaksanakan amanat dari gurunya Kyai Arwani untuk membangun
sebuah Pondok Tahfidz Qur’an. Maka, kemudian beliau membeli sebidang tanah di
Kabupaten Tabanan dan mendirikan pondok yang diberi nama Raudhatul Huffadz.
Visi dan Misi Pondok Pesantren
Visi: Bagaimana Bali diisi dengan al- Qur’an
Bagi beliau
perjuangannya dalam menyebarkan Islam adalah karena berdasarkan dan termotivasi
oleh al-Qur’an. Karena di dalam al-Qur’an tidak ada perbedaan dan hanya
al-Qur’an sajalah yang dapat menembus ke semua tempat. Al-Qur’an memuat segala
macam ilmu pengetahuan. Romo Kyai berkata “Dengan al-Qur’an saya dapat
mengendalikan laju dan mengontrol kondisi masyarakat serta menjawab
permasalahan yang ada pada masyarakat”.
Misi: Memahamkan
masyarakat atas al-Qur’an dalam konteks yang benar
Selain
menghafal al-Qur’an ada pendalaman dalam bidang tafsir al-qur’an. Para santri
yang menghafalkan al-Qur;an diharapkan dapat memahami maksud dari makna ayat;
ayat al-Qur’an itu sendiri. Sehingga, ketika mereka telah siap untuk
ditempatkan di lingkungan masyarakat, mereka dapat mencari solusi atas permasalahan
yang ada pada konteks pemahaman yang benar.
2.
Profil Pondok Pesantren
Pondok
Pesantren Raudhatul Huffadz terletak di Kabupaten Tabanan Bali, tepatnya di Jalan
A. Yani Gang Kamboja I /04 Kediri
Tabanan, Bali No. Telepon (0361) 812562. Pondok ini berjenis kombinasi, artinya
terdiri dari santri laki-laki dan perempuan. Jumlah santri laki-laki 241 orang,
sedangkan yang perempuan 142 orang.[12]
Pondok
Pesantren Raudhatul Huffadz merupakan pondok yang fokus pada hafalan al-Qur’an,
dimana porsi mengaji dan setoran al-Qur’an lebih banyak daripada kajian
literatur pesantrennya. Adapun para santriwan maupun santriwatinya terdiri para
pelajar yang berasal dari dan luar Bali.[13]
3.
Metode Hafalan Al-Qur’an
Adapun metode
yang digunakan dalam menghafal al-Qur’an oleh santri Raudhatul Huffadz adalah:
a.
Istiqomah. Yang dimaksudkan
istiqomah disini bukanlah terus menerus mengkaji dan menghafal al- Qur’an
diseluruh waktu, akan tetapi ada pembagian waktu- waktu tertentu. Karena para
santri harus membagi waktu mereka dengan sekolahnya juga.
b.
Menuliskan ayat- ayat al-Qur’an
yang dihafalkan dengan tulisan arab. Hal ini dimaksudkan agar para santri yang
menghafal al-Qur’an dapat meminimalisir kesalahan dalam hafalannya dan juga
untuk menjaga hafalan santri itu sendiri.
c.
Pengajaran secara langsung dengan
menjelaskan kaidah- kaidah bacaan al-Qur’an ketika santri menyetorkan
hafalannya. Contohnya ketika ada tanda waqaf dalam suatu ayat maka guru yang menyimak
sekaligus menjelaskan kaidah- kaidah dari tanda waqaf tersebut. Begitupun juga
ketika dalam setoran santri terdapat kesalahan maka guru langsung membenarkan
dan menjelaskan dengan hati- hati, sehingga santri dapat menerima ilmu dengan
mudah.[14]
Disamping
menghafal al-Qur’an, pondok pesantren ini juga mengkaji ilmu tafsir sebagai
sarana pendalaman memahami makna teks al- Qur’an serta berbagai kitab tafsir.
Perlunya pemahaman tafsir al- Qur’an bagi santri adalah supaya para santri
dapat menerapkan ilmu- ilmu yang terkandung dalam al- Qur’an. Jadi, disamping
pengetahuan umum yang didapatkan para santri di Madrasah Aliyah mereka juga
mendapatkan ilmu agama yang mendalam. Romo Kyai sendiri mengatakan banwa
generasi yang sebenarnya diharapkan adalah generasi yang mencerdaskan dirinya
secara spiritual terlebih dahulu dan baru kemudian mencerdaskan intelektual
mereka. Dengan begitu mereka tidak akan mudah terbawa arus yang dapat
menyimpangkan mereka dari aturan- aturan agama.
4.
Pemaknaan Teks al-Qur’an di
Lingkungan Pondok
Sebagai pulau
dengan penduduk mayoritas beragama Hindu, penduduk Muslim Bali haruslah
memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama lain. Meski Islam menjadi
agama minoritas, pemahaman terhadap pengetahuan keagamaan sangatlah diperlukan.
Selain untuk mempertahankan akidah diri, juga sangat diperlukan dalam hubungan
dengan umat agama lain.
Fenomena Bom
Bali, hendaknya menjadi cambuk bagi kaum muslimin untuk lebih memahami akan
dasar agama Islam secara pasti. Penguasaan terhadap penafsiran al-Qur’an perlu
di perbaiki. Pesantren menjadi salah satu tempat strategis untuk mempelajari
ilmu-ilmu agama. Terlebih Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz yang memiliki
berbagai metode dalam menghafal yang juga harus menguasai tulisan serta
penafsirannya. Diharapkan bisa mengurangi salah pemahaman dalam menafsirkan
beberapa ayat yang berkaitan tentang Jihad dan akidah.
Selain itu,
keberadaan pesantren memiliki andil yang sangat besar dalam kontrol sosial dan
juga perubahan sosial. Karena kehidupan pesantren tidak dapat dipisahkan dengan
lingkungan masyarakat. Terlebih lagi hubungannya dengan keilmuan Ushuluddin
yang menekankan pada aspek akidah dan akhlak maka permasalahan pokok moral dan
keyakinan masyarakat Muslim Bali yang berada di tengah- tengah mayoritas
golongan non-Muslim sangatlah membutuhkan suatu tokoh atau pegangan dalam
mempertahankan aspek moral dan etika Islam.
Dalam rangka
pembinaan akhlak di masyarakat maka fenomena pesantren merupakan wadah yang
tepat untuk hal itu. Karena, dalam pesantren mengarahkan dan membimbing para
santrinya untuk berperilaku Sesuai dengan nilai dan norma dalam Islam, yang
mana ditunjukkan melalui tindakan- tindakan dari ustadz-ustadz mereka. Sehingga
perilaku para santri inipun dapat dilihat dari pengaruh tindakan ustadz mereka
dan bagaimana perilaku para santri merespon perilaku ustadz mereka. Adapun
nilai yang diterapkan dalam masyarakat adalah kelemahlembutan sebagaimana
firman Allah:
فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS.
Ali Imran: 159).
B.
ANALISIS
Sesuai dengan teori aksi interaksi,[15]
tindakan- tindakan santri dengan lingkungannya dimasyarakat merefleksikan
interaksinya dengan kyai ataupun guru- gurunya di dalam pesantren. Untuk itulah
kenapa ilmu akhlak perlu untuk diaplikasikan dalam suatu lembaga yang nantinya
dapat melahirkan nilai-nilai dan norma etika yang berbasis pada al- Qur’an
tentunya dan dapat dipraktekkan di kehidupan masyarakat.
Adapun nilai yang dipraktekkan dimana pun
berada oleh KH. Nurhadi adalah berpedoman pada firman Allah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
BAB III
KAMPUNG MUSLIM BUGIS
A.
KAMPUNG MUSLIM BUGIS
Suku Bugis adalah suku yang berasal dari
Sulawesi Selatan. Saat ini orang Bugis tersebar di beberapa provinsi di
Indonesia.[16]
Salah satu provinsi yang menjadi daerah tujuan transmigrasi suku Bugis adalah
Pulau Bali. Suku Bugis yang berada di Pulau Bali bertempat di Serangan Kabupaten
Denpasar Selatan dan orang Bugis yang pertama kali menginjakkan kaki disitu
adalah Syeikh Mukmin.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bali adalah
pulaunya orang Hindu. Tetapi Syeikh Mukmin adalah seorang muslim. Bahkan ia
adalah orang pertama yang membuat kampung muslim di pulau Bali. Maka ini
merupakan fenomena yang menarik yang karena tujuan utama Syeikh Mukmin ketika
pindah ke Bali dalam rangka mengungsi. Bukan dalam rangka berdakwah ataupun
berdagang seperti ketika masukknya Islam ke pulau Jawa. Maka kajian mengenai
keberadaan Kampung Bugis di pulau Bali ini layak dibahas agar bisa diketahui
bagaimana asal-usul kepindahan Syeikh mukmin dari kampung halamannya serta
perjuangannya ketika sampai di Pulau Dewata sehingga kampung tersebut masih
eksis sampai sekarang.
1.
Sejarah Kampung Muslim Bugis dan
Masjid asy-Syuhada’ di Serangan Bali
Syeikh Mukmin
adalah tokoh muslim dari Suku Bugis. Ketika kampung halamannya yang berada di
daerah Ujung pandang (sekarang Makassar-red) Sulawesi Selatan masih dikuasai
Vereegnigde Oostindische Compagnie (VOC) atau penjajah belanda, ia tidak mau
tunduk pada mereka. Hal itu terkait dengan Perjanjian Bongaya pada tahun 1667
yang melarang warga Bugis memiliki kapal berukuran besar.[17]
Sebagai bentuk protes, ia bersama 40 orang Bugis lain berlayar pergi
meninggalkan kampung halaman mereka.
Setelah
berlayar tak tentu arah, mereka akhirnya terdampar di Pulau Bali. Ketika mereka
berlabuh, daerah tersebut sudah ada yang menguasai. Adalah Raja Badung yang
menjadi penguasa setempat. Ia bersama rombongannya pun diminta menghadap pihak
kerajaan. Raja Badung sebenarnya agak curiga kalau-kalau mereka adalah
mata-mata belanda. Tetapi ketika melihat tutur kata, perliaku, dan tata
kramanya ketika menghadapnya, Mukmin dianggap orang baik dan akhirnya diterima
oleh pihak kerajaan. Selain itu Syeikh Mukmin yang anti penjajah setali dua
uang dengan sikap Raja Badung terhadap belanda. Mukmin dan rombongannya pun
diminta untuk tinggal di Istana kerajaan sebagai tamu dan akan dijamin segala
kebutuhannya.
Setelah hidup
di Istana selama sekitar dua bulan, ia meminta pada raja untuk ditempatkan di
pesisir karena merasa tidak enak menjadi “tamu” dan tidak pernah melakukan
apa-apa. Ia meminta kepada Raja agar menjadi penduduk biasa dan ditempatkan di
daerah dekat laut karena mereka terbiasa hidup di dekat laut yang merupakan
mata pencaharian utama mereka dulu. Mukmin pun diberi tempat di Pulau Serangan.
Daerah yang akan mereka huni tersebut luasnya sekitar dua hektar. Karena merasa
cocok dengan daerah tersebut, Mukmin pun menerimanya dan mendirikan beberapa
bangunan untuk tempat tinggal. Ia minta izin mendirikan musholla, tetapi oleh
Raja Badung Syeikh Mukmin disuruh membuat masjid alih-alih musholla. Semua
biaya pembangunan itu ditanggung oleh pihak kerajaan. Setelah selesai, masjid
itu dikenal dengan nama Masjid asy-Syuhada’.
Suatu ketika,
Raja Badung ingin melebarkan kekuasaannya sampai Kerajaan Mengwi. Kerajaan
Mengwi adalah kerajaan yang terkenal angkuh dan sombong. Sebelumnya Raja Badung
telah mencoba menyerangnya sampai dua kali, tapi tidak pernah berhasil. Ia pun
mencoba meminta tolong oleh Syeikh Mukmin dalam penyerangannya yang ketiga
kali. Karena merasa bahwa Syeikh Mukmin bukan orang sembarangan, Raja Badung
menyerahkan segala hal yang berhubungan dengan penyerangan tersebut kepada
Syeikh Mukmin. Syeikh Mukmin pun menerimanya dengan senang hati karena merasa
berhutang budi pada Raja Badung. Tiga hari setelah permintaan itu disampaikan,
Syeikh Mukmin kembali menemui Raja Badung dan menjelaskan strategi beserta hari
baik dimana penyerangan akan dimulai. Akhirnya pada hari senin jam tiga dini
hari, pasukan Kerajaan Badung berangkat ke Kerajaan Mengwi dengan Mukmin
sebagai panglimanya.
Kerajaan
Mengwi termasuk kerajaan yang sulit dimasuki. Seratus meter sebelum perbatasan,
daerah itu sudah dipenuhi oleh penjaga. Mereka pun beristirahat sejenak selama
satu malam sembari membuat senjata khusus yang terbuat dari kayu pohon untuk
menyerang pasukan Mengwi yang terkenal sakti. Karena itu Syeikh Mukmin
berinisiatif membuat senajat sendiri dan tidak menggunakan senjata tajam dalam
penyerangan tersebut.
Keesokan
harinya, tepat jam tiga pagi, mereka mulai menyerang kerajaan Mengwi. Mereka
menyerang dari arah depan belakang. Korban banyak berjatuhan di pihak lawan.
Setelah berusaha sekuat tenaga. Mereka akhirnya memperoleh kemenangan. Pada
awalnya, Syeikh Mukmin diminta untuk membawa Raja Mengwi hidup-hidup. Tetapi
karena dirasa tidak memungkinkan, Syeikh Mukmin terpaksa membunuh Raja Mengwi
dan memotong kepalanya untuk dibawa pulang sebagai bukti kemenangan. Berkat
jasa Mukmin ini, sempurnalah awal proses persahabatan anatara agama Hindu dan
Islam di Pulau Bali.[18]
2.
Pendidikan dan Mata Pencaharian
Kampung Muslim Bugis
Tingkat
pendidikan formal Kampung Muslim Bugis bias dikatakan cukup. Lembaga pendidikan
di Kampung tersebut hanya SD dan SMP. Jadi kalau ada yang ingin melanjutkan di
jenjang SMA harus pergi ke daerah lain.
Tetapi dalam
segi pendidikan agama bias dikatakan kurang. Kekurangan ini lebih dikarenakan
kurangnya sumber daya manusia mumpuni yang berasal dari penduduk Kampung Muslim
Bugis sendiri. Pendidikan agama disana hanya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).
Adapun madrasah belum ada dan kabarnya masih dalam tahap perencanaan
Mata
pencaharian Kampung Bugis pada awalnya hanya nelayan. Tetapi seiring
berjalannya waktu, pekerjaan yang mereka jalankan semakin beragam. Hal itu bias
dilihat di jalanan Kampung Bugis yang beberapa rumahnya mempunyai warung makan,
took kelontong, dan lain sebagainya.[19]
3.
Keadaan Kampung Bugis Masa Kini
Kampung Bugis
Bali terletak di Pulau Serangan yang termasuk dalam daerah kabupaten Denpasar
Bali, tepatnya Denpasar bagian selatan dan berjarak sekitar 15 km dari kota
Denpasar. Pada awalnya Pulau Serangan merupakan pulau kecil yang terpisah dari
pulau Bali. Tetapi saat ini pulau tersebut sudah dihubungkan dengan Pulau Bali
dengan dibuatnya sebuah jembatan sekitar 15 tahun yang lalu. Adapun jumlah
penduduk kampung Bugis setelah sekitar 300 tahun menempati Pulau seranganm saat
ini mencapai 80 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 300 jiwa.
Kampung Bugis
tersebut diapit kampung-kampung lain yang umumnya orang Bali dan penganut Hindu.
Kendati demikian, baik masyarakat Islam Bugis, maupun warga Hindu yang tinggal
di kampung sebelah hidup rukun berdampingan, meski berbeda agama dan suku.
Mereka juga saling menghormati. Apabila keluarga mereka ada yang menikah,
mereka saling mengundang. Ketika masing-masing dari mereka merayakan Hari Raya
Idul Fitri atau Hari Raya Nyepi, mereka juga saling mengunjungi untuk sekedar
mengucapkan selamat hari raya.
Wilayah
pemukiman orang Bugis kontras berbeda dengan rumah-rumah orang Bali yang
beragama Hindu. Tidak ada dinding pemisah antara satu rumah dengan rumah
lainnya. Bangunan-bangunan itu berjajar rapi menghadap pada satu jalan setapak
yang melintang.
Di kampung
tersebut terdapat sebuah Masjid yang bernama Masjid asy-Syuhada’. Masjid ini
merupakan saksi bisu pertukaran budaya Islam dan Hindu. Meski sudah mengalami
beberapa kali renovasi, namun bentuk dan corak arsitektur masjid masih kental
terlihat. Bahkan mimbar khotbah dan jendela masjid masih asli.
Keberadaan
kampung Bugis pernah dua kali terancam. Yang pertama ketika anak mantan
Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, ingin membangun bungalo dan lapangan golf di
pulau Serangan tersebut sebelum era reformasi. Tetapi hal itu tidak jadi
terlaksana karena banyak pihak, terutama pihak penduduk serangan, yang menolak
rencana tersebut.
Kedua, ketika
terjadi peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 dan 2005. Meskipun mereka memiliki
hubungan baik dengan umat Hindu, kampung ini tidak luput dari rasa curiga
masyarakat Hindu sekitar akan aksi terorisme. Hal ini dikarenakan kampung ini
adalah kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan pelaku bom bali
tersebut adalah muslim. Tetapi karena adanya sejarah yang membentuk kampung
Bugis di Pulau Serangan, sejarah bagaimana nelayan kampung Bugis dapat memiliki
ikatan erat dengan Kerajaan Badung dan bagaimana kisah kepahlawanan leluhur
mereka, kampung Bugis bisa dikatakan aman pasca peristiwa Bom Bali dulu.
Dalam
sejarahnya, tak ada muslim Bugis serangan yang pindah agama ke Hindu, tetapi
dari Hindu sendiri ada yang masuk Islam. Sedangkan keluarga Syeikh Mukmin saat
ini sudah tidak ada. Dulu mata pencahariannya cuma nelayan, tetapi sekarang
sudah cukup beragam.[20]
B.
ANALISIS
Sejarah kedatangan suku Bugis ke Pulau Bali
yang diterangkan H. Mansyur tergolong kurang mendetail. Penyebab utama Syeikh
Mukmin pergi dari kampung halamannya yang dijelaskan H. Mansur terlihat kontras
dengan apa yang dilakukan Syeikh Mukmin ketika menetap di Bali. Dalam
sejarahnya, ketika mengabdi kepada Raja Badung Syeikh Mukmin digambarkan
sebagai sosok yang sakti. Ia bahkan bisa mengalahkan Raja Mengwi yang bahkan Raja
Badung sekalipun tidak pernah bisa mengalahkannya setiap kali menyerangnya.
Lalu bagaimana mungkin Syeikh Mukmin pergi dari Makassar begitu saja tanpa
melakukan perlawanan terhadap VOC yang melakukan penjajahan di negerinya?
Ada sedikit benang merah untuk
mengurai masalah ini, yaitu dengan melihat sedikit sejarah
Kerajaan Goa. Kemungkinan besar, Syeikh Mukmin ketika masih berada di Makassar
mengabdi kepada kerajaan Goa. Sekitar tahun 1660an, ada perseteruan antara
kerajaan Goa dan kerajaan Bone. Konflik itu berakhir dengan peperangan antara
keduanya. Peperangan itu sangat merugikan pihak Goa karena Kerajaan Bone
meminta bantuan VOC yang sudah lama di Makassar sebelumnya. Peperangan itu
berakhir dengan ditandatanginya Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667[21].
Perjanjian Bongaya itu sangat
merugikan penduduk asli Makassar. Isi perjanjian itu diantaranya mewajibkan
Makassar membongkar sebagian besar benteng, menyerahkan
perdagangan
rempah, dan menghentikan semua impor dari sumber lain selain dari VOC belanda[22].
Berdasarkan hal tersebut,
kemungkinan alasan utama kenapa Syeikh Mukmin pergi dari Makassar adalah
dikarenakan kekalahan Kerajaan Goa dan ditandatanginya Perjanjian Bongaya.
Syeikh Mukmin mungkin merasa bahwa keadaan Makassar saat itu
sulit sekali diubah. Maka ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya demi mencari tempat lain yang
lebih aman bagi dirinya sendiri khususnya dan bagi para pengikutnya pada
umumnya.
BAB IV
CAH AYU SHOP
A.
CAH AYU SHOP
Ada sesuatu yang kurang apabila telah
mengunjungi suatu tempat tetapi tidak membeli sesuatu yang khas dari tempat
tersebut. Begitu juga orang lain, mereka pasti akan mempertanyakan kebenaran
apakah seseorang pernah mengunjungi suatu tempat, selain melalui cerita juga
dengan bukti, diantaranya adalah oleh-oleh. Maka tidak heran jika pada
sepanjang jalan di Objek Wisata terdapat banyak sekali toko yang menjajakan
souvenir dan makanan khas dari tempat tersebut.
Salah satu objek wisata yang menjadi tujuan
utama bagi sebagian orang Indonesia dan mancanegara adalah Pulau Bali. Pulau
yang terkenal dengan sebutan Pulau Dewata ini memiliki keindahan alam berupa
banyak pantai, pegunungan, serta keunikan tradisi yang masih dilestarikan oleh
masyarakat sekitar. Hal inilah yang menjadi pemikat bagi para pelancong. Dan
angka pengunjung 3 sampai 6 ribu perhari merupakan hal yang biasa pada suatu
objek wisata favorit di Bali.
Seseorang yang telah mengunjungi pulau Bali,
pasti telah menganggarkan sebagian uangnya untuk membeli atau paling tidak
mencicipi makanan khas Bali. Disinilah, para pirausahawan mengambil celah dari
kesempatan tersebut. Salah satunya adalah Pak Haji Robani, seorang perantau
dari magelang jawa tengah yang memulai karir kerjanya di tempat tersebut. Dan
pada akhirnya, beliau menjadi pemilik sekaligus pengelola Pusat oleh-oleh khas
Bali yang diberi nama “Cah Ayu”.
1.
Sejarah Berdirinya Cah Ayu Shop
Pusat
oleh-oleh Cah Ayu berada di jalur pariwisata desa Batu Bulan, kecamatan
Sukawati Kabupaten Gianyar. Cah Ayu dirintis oleh H. Robani, seorang perantau
dari Magelang Jawa Tengah. Pada awalnya beliau tidak berniat merantau di Bali,
tetapi di Banyuwangi karena mempunyai saudara disana. Tetapi, karena tidak
menemukan keberadaan saudaranya tersebut, akhirnya beliau memutuskan untuk
menyeberang di pulau Bali.
Seminggu
pertama di Bali, beliau sempat menjadi gelandangan dan akhirnya memperoleh
pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan mencoba berbagai pekerjaan lain,
diantaranya adalah menjaga kamar mayat, pedagang mie ayam, sayur-mayur, bakso,
lampu dan lain sebagainya. Melalui pengalaman usaha tersebut, Robani mencoba
berjualan kacang asin sebagai makanan khas Bali. Kacang asin pak Robani awalnya
juga dijajakan berkeliling dengan sepeda ontel dari satu tempat ke tempat lain,
dan melalui pemasaran di bus penumpang wisatawan.
Pusat
oleh-oleh Cah Ayu berdiri pada 27 september 2002 dengan luas toko hanya 3x4
meter saja. Usaha ini mengalami pasang surut, terutama pada peristiwa bom Bali,
usahanya sempat bangkrut. Tetapi, dengan dukungan dan do’a restu dari orang tuanya,
Robani memulai lagi usaha tersebut. Kini, Cah Ayu Shop, merupakan Pusat
oleh-oleh yang terkenal di Bali, terbukti dengan hampir 90 persen SMA se-Jawa
dan Bali pernah mengunjungi tempat tersebut dan menjadikannya sebagai kajian
entrepreneurship.
Cah Ayu Shop yang
sekarang berdiri, menyediakan produk andalan diantaranya adalah Kacang Asin
Super Cah Ayu non kolestrol karena di goreng dengan pasir. Terdapat juga Kacang
Disco, yaitu kacang yang digoreng dengan terigu kemudian dibumbui berbagai
rasa, seperti barbeque, udang pedas, balado, dan lainnya, sehingga ketika dimakan
membuat lidah bergoyang alias berdisko.
Bukan hanya
produk andalan tersebut, Cah Ayu juga menyediakan berbagai makanan ringan
lainnya seperti belalang goreng, kopi bali, makanan ringan dari ketela, tempe dan
lainnya. Produk yang sekarang sedang gencar dipasarkan adalah R27, yaitu
minuman herbal semacam jamu dari racikan tumbuhan alami, yang berkhasiat menurunkan
gula darah, asam urat, kolesterol dan penyakit lainnya. Promosi minuman herbal
ini bisa langsung dilihat ditempat, yaitu melalui pelayanan chek up darah
sebelum meminum ramuan herbal dan hasilnya setelah meminum ramuan herbal R27.
Penunjang
keramaian Cah Ayu Shop selain dari produk khas yang ditawarkan juga melalui
lokasi yang strategis. Toko ini dilewati oleh bis yang mengunjungi pasar
Sukowati yang memudahkan proses marketing, Robani bekerja sama dengan para biro
perjalanan yang kemudian akan mengajak mampir penumpang mereka di Cah Ayu Shop.
Dengan membidik para wisatawan lokal, beliau melengkapi usahanya dengan
sertifikat halal dari MUI dan benar-benar menjaga kualitas produknya agar
wisatawan asing juga tidak kecewa. Dengan pangsa pasar yang cukup luas, Robani
kini mengelola Cah Ayu Shop dengan 65 karyawannya. Tokonya juga menjadi tempat
pemasaran bagi para pengrajin lokal di Pulau Bali.[23]
2.
Asal Usul Nama Cah Ayu
Mengapa tidak
cah enom? Jawab beliau apabila cahenom
itu akan menafsirkan dua pembahasan laki-laki dan perempuan. Dan Cah Ayu merupakan
identik dengan nama perempuan. Menggunakan cah ayu karena dimana-mana perempuan
adalah terkesan mewah dan menarik
Identik dengan
nama perempuan, terinspirasi dengan kaidahnya yo neng tawang ono lintang cahayu
aku ngenteni tekamu ,,,, Cah adalah biasanya identik orang dari Magelang
dan Semarang. Kalau Ayu terinspirasi dari kalangan Bali sendiri terdapat Ida Ayu.
Dan cahayu ini hanyalah percampuran
Bali dan Jawa yang tidak terasa.
Cahayu R 27
disini berasal dari kata R (Robani) dan angka 27 berasal dari sholat diharuskan
berjamaah akan mendapatkan pahala 27 derajat. Sholat diturunkan dimuka bumi
pada tanggal 27 Rajab, 2 + 7 = 9 dan ini artinya adalah Walisongo yang ada di
Jawa.
3.
Entrepreneurship Khas dari Cah Ayu Shop
Entrepreneurship
yang khas dari Cahayu Shop adalah habluminallah wa habluminannas
harus seimbang. Tak hanya beribadah kepada Allah, namun juga bersedekah kepada
sesama.
Strategi Bisnis Cah Ayu Shop
a.
Marketing
Pemasaran yang
dilakukan oleh Bapak Rabbani dikemas menarik sehingga menarik para wisatawan
untuk membeli produk-produk Cah Ayu Shop. Tak hanya pembelian secara langsung
namun beliau juga menyediakan jasa pengiriman.
b.
Proses Produksi
Proses pembuatan Kacang Asin Bali Cahayu R 27:
-
Tahap I: Proses Sortir Bahan
Penyortiran
kacang mentah yang akan diolah untuk mendapatkan bahan dengan kualitas baik,
karena bahan dasar ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir pada saat proses
penyaringan kacang tersebut.
-
Tahap II: Proses Perendaman
Proses ini
dilakukan dengan maksud untuk membersihkan debu atau kotoran yang menempel pada
kacang saat pengupasan dan membersihkan dari sisa-sisa getah yang masih
menempel.
-
Tahap III: Proses Pencampuran Bumbu
Setelah proses
perendaman maka kacang ditiriskan kemudian dicampur dengan bawang putih yang
sudah dihaluskan dan dicampur dengan sedikit garam dengan komposisi kacang 100
kg dan bawang putih 3 kg.
Setelah itu
dibiarkan selama 12 jam dan diaduk sampai tercampur rata.
-
Tahap IV: Proses
Penjemuran/Pengeringan
Kacang yang
sudah tercampur dengan bumbu dan telah didiamkan hingga bumbu merasuk, kemudian
dijemur dibawah matahari langsung selama 5-6 jam atau sampai setengah kering.
-
Tahap V: Proses Penggorengan
Proses
penggorengan kacang asin ini sedikit lebih unik dibandingkan dengan proses
penggorengan kacang pada umumnya, karena dalam proses ini kacang tidak di
goreng menggunakan minyak akan tetapi pasir laut yang berasal dari daerah
pantai Klungkung[24]
yang telah melalui proses sterilisasi terlebih dahulu sehingga higienis serta
layak untuk menggoreng. Dan selama proses penggorengan diperlukan nyala api
yang tidak terlalu besar sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam
proses penggorengan ini diperlukan seorang tenaga yang memiliki pengalaman yang
cukup dalam masalah pengolahan Kacang Asin Bali ini.
-
Tahap VI: Proses Seleksi II
Kacang yang
sudah matang tidk begitu saja langsung
dikemas tapi terlebih dulu diseleksi antara kacang yang layak dipasarkan
atau tidak. Sehingga Kacang Asin Bali merek Cahayu R 27 iini memiliki kwalitas
dan rasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Adapun kacang yang tidak sesuai
dengan standard perusahaan bisa dimanfaatkan untuk bumbu pecel atau makanan
ternak.
-
Tahap VII: Proses Pembungkusan
Pada proses
terakhir dari pembuatan Super Kacang Asin Bali merk Cah Ayu R 27 ini, kacang
yang telah diseleksi dengan teliti kemudian dikemas sesuai dengan ukuran berat
seperti tertera pada kemasan kemudian dipasarkan di outlet Cah Ayu R 27.
c.
Jumlah Pegawai
Jumlah pegawai Robani adalah 65 orang.
Pemberdayaan Masyarakat
Sekitar
Dengan adanya
Pusat Oleh-oleh Cah Ayu Shop ini menyediakan lapangan kerja bagi 65 orang
disekitar Kabupaten Gianyar. Hal tersebut dapat mengurangi pengangguran di
Pulau Bali yang padat penduduk. Cah Ayu Shop
menyediakan berbagai makanan khas Bali, sebagai pusat oleh-oleh khas
Bali. Ini memberikan lapangan pekerjaan bagi usaha kecil pada
masyarakat kecil disekitar. Dan ini akan mempermudah bagi masyarakat luar Bali
untuk mencari oleh-oleh khas ketika akan pulang ke daerahnya.
4.
Filsafat Kerja dan Etika Bisnis Cah
Ayu Shop
Karena bom
Bali 2002, banting tulang Robani ambruk. Usahanya hancur dan harus pulang
kembali ke Magelang. Tetapi dengan falsafahnya, “pari nek ambruk angger
gelem ngadek dewe ono isine”,[25]
maka ia pun bangkit lagi. Ia merintis kembali usahanya hingga sukses sampai
sekarang. Dari bom Bali itulah Robani hijrah, dari keadaan terpuruk menjadi
sukses dengan berbagai usahanya.[26]
Jika ditanya,
apa rahasia sukses dari Robani, beliau
mengatakan 3 hal. Yang pertama adalah do’a ibu, do’a guru dan dukungan
dari istri. Dari penjelasan beliau, sudah bisa dilihat bahwa beliau adalah
orang yang kencang memegang prinsip beragama. Setiap langkah yang diambil
selalu terinspirasi dari Perintah Tuhan. Diantaranya adalah perintah untuk
bersedekah, memulai segalanya dengan keinginan yang sungguh-sungguh dan do’a,
juga dengan usaha maksimal dan ibadah yang konsisten.[27]
Allah
berfirman:
وَإِذا
سَأَلَكَ عِبادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذا دَعانِ
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186)
5.
Peran Ilmu Agama dan Filsafat dalam
Dunia Bisnis
Dari
sertifikat halal yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa beliau berusaha
memenuhi standar syarat untuk mengkonsumsi makanan yang baik dan halal. Melalui
karir bisnis yang dirintis, Robani telah memenuhi tiga aspek dasar dari etika
bisnis yaitu melalui aspect ekonomi dengan memunculkan berbagai inovasi baru
untuk memperoleh keuntungan yang besar. Yang kedua adalah dilihat dari aspek
hukum, yaitu mendaftarkan usahanya pada badan hukum yang bersangkutan dan menjalani
usahanya sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa adanya kecurangan dalam
management. Dan yang terakhir adalah dari aspek moral, yaitu adanya rasa saling
menghargai dan toleransi tinggi serta apresiasi beliau pada karyawannya yang
berbeda agama dan mengutamakan kesejahteraan para pegawainya sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya:”Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku."(QS. Al-Kafirun: 6)
Sebagai umat
Muhammad yang dulunya juga seorang entrepreneur, etika bisnis beliau yang
dimiliki dan diterapkan diantaranya:[28]
1.
Shidiq (jujur),
2.
Amanah (percaya),
3.
Tabligh (menyampaikan),
4.
Fathonah (cerdas).
5.
Dengan memiliki sifat-sifat
tersebut, diharapkan seorang entreprener Muslim cepat sukses dunia akhirat.
B.
ANALISIS
Menurut al-Qur’an, manusia adalah sebuah
kesatuan fungsional antara ‘abd dan khalifah. ‘Abd
ditandai dengan ketaatan religius dan moralitas, sedangkan khalifah
ditandai dengan kreativitas dalam merumuskan konsep dan merealisasikannya di
dunia ini. Dalam hal ini, tidak ada dualitas pengetahuan di dunia Islam.
pengetahuan di dalam Islam adalah monoteistik sebagai kesatuan dan integritas
wujud Keagungan dan ke-Maha-Pujian Tuhan.
Di sinilah ayat-ayat entrepreneurship yang
menyeru manusia sekaligus sebagai ‘abd dan khalifah menjadi penting untuk
membangkitkan kembali semangat entrepreneur demi meningkatkan mutu dan kualitas
hidup manusia dan sekaligus mengentaskan kemiskinan. Al-Qur’an menggunakan
beberapa kata untuk mengungkapkan Bekerja, di antara kata-kata tersebut adalah ‘amal.
Meskipun juga ada kata-kata lain yang memiliki makna bekerja seperti kasb,
fi’l, dan sa’y.
Di antara kata tersebut yang paling sering
digunakan adalah kata ‘amal. Kata ‘amal ditemukan di dalam
al-Qur’an sebanyak 425 kali. Dalam bentuk madhi sebanyak 99 kali, bentuk
mudhari’ sebanyak 164 kali, bentuk amar sebanyak 11 kali, bentuk masdar
sebanyak 70 kali dan dalam bentuk isim fa’il sebanyak 13 kali. Kata ‘amal
dalam bahasa Arab merujuk pada dua hal. Pertama, kebanyakan kata ‘amal
digunakan untuk menunjuk setiap usaha manusia dalam mewujudkan tujuan ekonomis
(iqtishadiyyah). Kedua, kata ini menunjukkan ‘amal (perbuatan)
itu sendiri.[29]
Islam adalah agama yang menekankan amal atau
bekerja. Sebab amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk
mencari mata pencaharian yang diperbolehkan Allah swt. Sehingga bekerja di
dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok.
Konsep amal di dalam Islam sangat luas tidak
hanya menyangkut soal bisnis atau dagang saja. Amal adalah setiap pekerjaan
yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik
berupa kegiatan badan, akal, indera ataupun seni.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang
menyerukan kepada manusia untuk bekerja. Berikut ini adalah contoh ayat-ayat
tentang perintah bekerja, yang kemudian akan dielaborasi secara sederhana tapi
‘mengena’.
Allah
berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. al-Hajj :77)
Berdasarkan ayat di atas bisa dipahami bahwa
pertama, berbuat baik (bekerja secara baik dan professional) merupakan salah
satu ciri orang yang beriman. Kedua, bekerja yang selama ini seringkali
dikaitkan dengan urusan dunia pada dasarnya setara atau sejajar dengan ruku’,
bersujud dan menyembah Allah swt. Ini artinya bahwa bekerja juga merupakan
ibadah.
Allah
berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى
إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi:110)
Dalam ayat ini, dinyatakan secara jelas bahwa
barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah maka bekerjalah. Ini artinya bekerja
itu sama dengan bertemu Allah, sebuah ganjaran yang paling tinggi yang pernah
diberikan Allah kepada hamba-Nya, yakni perjumpaan dengan-Nya. Di dalam
al-Qur’an menceri ilmu hanya diganjar dengan peningkatan derajat. Namun bekerja
diganjar dengan bertemu Allah.
Allah
berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي
الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat,
Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)
Ayat ini, di samping memerintahkan bekerja
juga mengingatkan bahwa bekerja sambil mengingat Allah (bekerja sesuai dengan
prosedur yang Allah berikan) akan mendatangkan keuntungan.
Allah
berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami
beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. al-Nahl: 97)
Ayat ini menjanjikan kepada manusia bahwasanya
balasan bekerja adalah kehidupan yang layak dan pahala yang baik melebihi nilai
kebaikan pekerjaan itu sendiri. Ini menyiratkan bahwa bekerja itu memiliki
nilai plus.
Masih banyak ayat lain yang menunjukkan
tentang pentingnya bekerja untuk kebaikan di dunia dan di akhirat. Bekerja atau
entrepreneurship dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi
pelakunya, bahkan bekerja menjadi salah satu ciri orang yang beriman. Sehingga
bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah swt. Karena bekerja adalah ibadah
maka bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran yang tertinggi dari
sebuah keimanan, yakni bertemu Allah (liqa’u rabbih). Karena bekerja
adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syari’at Allah, yakni dengan
cara yang halal, baik dan bermanfaat. Karena bekerja adalah ibadah maka tujuan
bekerja hanyalah untuk Allah swt bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.
BAB V
RELEVANSI MATERI ILMU USHULUDDIN DENGAN
OBYEK KUNJUNGAN
Dalam Masih banyak ayat lain yang menunjukkan
tentang pentingnya bekerja untuk kebaikan di dunia dan di akhirat. Bekerja atau
entrepreneurship dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi
pelakunya, bahkan bekerja menjadi salah satu ciri orang yang beriman. Sehingga
bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah swt. Karena bekerja adalah
ibadah maka bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran yang
tertinggi dari sebuah keimanan, yakni bertemu Allah (liqa’u rabbih). Karena
bekerja adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syari’at Allah, yakni
dengan cara yang halal, baik dan bermanfaat. Karena bekerja adalah ibadah maka
tujuan bekerja hanyalah untuk Allah swt bukan untuk bekerja atau materi itu
sendiri.
Toleransi berasal dari bahasa Latin: tolerare
artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan
berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.
Sikap toleran tidak berarti membenarkan
pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi
para penganutnya.
Ada tiga macam sikap toleransi, yaitu:
1.
Negatif dimana isi ajaran dan
penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya dibiarkan saja
karena dalam keadaan terpaksa. Contoh Partai Komunis Indonesia (PKI) atau
orang-orang yang beraliran komunis di Indonesia pada zaman Indonesia baru
merdeka.
2.
Positif dimana isi ajaran ditolak,
tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Contoh Anda beragama Islam wajib
hukumnya menolak ajaran agama lain didasari oleh keyakinan pada ajaran agama
Anda, tetapi penganutnya atau manusianya Anda hargai.
3.
Ekumenis dimana isi ajaran serta
penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsur-unsur
kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri.
Contoh Anda dengan teman Anda sama-sama beragama Islam atau Kristen tetapi
berbeda aliran atau paham.
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial,
budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima
oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama,
dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan
agama-agama lainnya.[30]
Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi
"kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi
seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik
mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.
Toleransi dan kerukunan antar umat beragama
bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Kerukunan
berdampak pada toleransi; atau sebaliknya toleransi menghasilkan kerukunan;
keduanya menyangkut hubungan antar sesama manusia. Jika tri kerukunan umat
beragama (antar umat beragama, intern umat seagama, dan umat beragama
dengan pemerintah) terbangun serta diaplikasikan pada hidup dan kehidupan
sehari-hari, maka akan muncul toleransi antar umat beragama. Atau, jika
toleransi antar umat beragama dapat terjalin dengan baik dan benar, maka akan
menghasilkan masyarakat yang rukun satu sama lain.
Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku
bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan
sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi
ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat: 13).
Rasululullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA dari
Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
sebaiknya berkata yang baik atau diam. Dan barang siapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tetangganya. Dan barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya.” (HR.
Muslim)[31]
Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga
itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki
permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa
dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada
hal-hal yang memiliki dimensi humanistik.
Toleransi (Arab: as-samhah) adalah
konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama
di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa,
budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung
dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama,
termasuk agama Islam.
Toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif
dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan
tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja
memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan
pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep
Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk
melakukan mu’amalah (hablum minannas) yang ditopang oleh kaitan
spiritual kokoh (hablum minallah).
Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja
terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan
lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka
toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan
serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi
keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah
membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut
akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada
tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan
manusia.
Dalam konteks kekinian, inklusivisme
termasuk satu dari tiga bagian tipologi sikap beragama dalam perspektif
teologis selain eksklusivisme dan pluralisme. Seorang penganut
agama yang bersifat eksklusif memandang bahwa agamanyalah yang paling
benar dan agama lain sesat dan salah. Penganut agama yang bersifat inklusif
memandang bahwa ‘keselamatan’ bukan monopoli agamanya karena penganut agama
lain yang secara implisit berbuat benar menurut agamanya akan mendapatkan
keselamatan juga. Sedangkan orang yang bersifat pluralis memandang bahwa
semua agama benar dan sama.[32]
Hubungan masyarakat antar agama di Pulau Bali
yang terkenal dengan Pulau Seribu Pura pun berjalan dengan baik. Sebelum
terjadinya bom Bali tahun 2002, masyarakat Bali yang terkenal ramah dengan
siapapun. Tetapi setelah ada bom meledak dengan kedok berjuang di jalan Allah,
maka banyak orang Islam disna menjadi korbannya. Akan tetapi dengan berjalannya
komunikasi antar umat beragama dari waktu ke waktu dan juga campur tangan
pemerintah setempat, ada benang merah yang dapat diurai. Ternyata ada beberapa
kelompok yang mengatasnamakan agama dan ingin menghancurkan kerukunan yang
telah terjalin dengan baik.
Hingga kini dengan sikap toleransi yang
diterapkan warga, maka tidak lagi ada diskriminasi hak bagi warga Muslim maupun
yang lainnya. Semuanya sama di depan hukum dan kerukunan, baik dalam bidang
keagamaan, sosial, budaya, ekonomi dan yang lainnya berjalan dengan lancar. Terbukti
dengan berbagai hal, diantaranya; saling menyambangi ketika hari besar agama
masing-masing, saling mengundang ketika mengadakan hajatan, serta tidak
mencampur adukkan urusan agama dengan urusan kemasyarakatan.
BAB VI
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Penguasaan teori haruslah seimbang dengan
penguasan praktek dalam bermasyarakat. Dalam keberagaman, Masyarakat Muslim
Bali haruslah dapat bertahan (survive) dengan keadaan
sekitar yang mayoritas beragama Hindu. Terbukti dari beberapa object kunjungan
yang tetap mampu bertahan di sana, antara lain:
1.
Pondok Pesantren Roudlotul Khuffadz
Sebagai pondok
huffadz pertama di Bali, Pondok ini mampu bertahan dan bahkan berkembang
dengan pesatnya sampai sekarang. berbagai hambatan yang muncul, terutama adanya
peristiwa Bom Bali yang memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan pondok.
KH. Nurhadi,
sebagai pendiri pondok pesantren tersebut menerapkan metode berbeda dalam
menghafal. Tak seperti pondok lain yang kebanyakan hanya menekankan aspek
hafalannya, beliau juga menekankan pada penguasaan penulisan serta tafsirnya.
Yang dalam hal ini berpengaruh besar terhadap penguasaan al-Qur’an. Sehingga
bisa mengurangi salah tafsir di kalangan masyarakat. Dan dapat memperbaiki nama
Islam yang dikenal denga lebel teroris yang notabennya terjadi karena kesalahan
dalam penafsiran.
2.
Kampung Islam Bugis
Sebagai kampung Islam pertama di Bali,
Kampung ini memiliki banyak keistimewaan. Sebagai kampung Muslim pertama, Islam
yang di bawa pun tidak berasal dari tanah Jawa, seperti Islam di Bali pada
umumnya. Namun berasal dari Makasar, kampung Bugis.
Meski penduduk
Muslim tetaplah menjadi minoritas, namun kampung tersebut tetaplah menjadi
kampung yang mampu bertahan ditenga-tengah masyarakat Hindu Bali yang kental
dengan bebagai upacara peribadatan.
Hubungan
masyarakat antar agama pun berjalan secara baik. Terbukti dengan berbagai hal,
diantaranya; saling menyambangi ketika hari besar agama masing-masing, saling
mengundang ketika mengadakan hajatan, serta tidak mencampur adukkan urusan
agama dengan urusan kemasyarakatan.
3.
Cah Ayu Shop
Sebagai sentra
wisata Indonesia, Bali diminati oleh wisatawan domestic maupun mancanegara. Dan
tak lengkap kiranya jika hanya mengunjungi tempat wisata saja, tanpa membeli
oleh-oleh khas bali. Cah Ayu Shop, adalah sebuah toko Bapak Robani yang
menyediakan aneka jajanan khas Bali.
Selain
tempatnya yang strategis, Produk andalan dari Cah Ayu Shop yang berupa Kacang
asin ini memiliki berbagai keistimewaan. Salah satunya adalah kacang yang
digoreng dengan media pasir. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri pada
wisatawan.
Robani yang
asli Magelang in merupakan sosok entrepreneur muslim yang sukses. Hal ini
terbukti dengan banyaknya karyawan beliau. Hal ini terjadi karena keuletan
beliau dalam berusaha, serta tidak mengesampingkan asas entrepreneur sejati,
yakni mengedepankan hubungan dengan Sang pencipta, juga pada sesama.
B.
PENUTUP
سُبْحانَكَ لا عِلْمَ لَنا إِلاَّ ما
عَلَّمْتَنا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
-
Abd al-Baqi, M. Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzh al-Qur’an
al-Karim, 1364 H, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah
-
Bawa Atmadja, Nengah, Genealogi
Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemerintahan Hindhu di Bali, 2010,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-
Christian, Pelras, Manusia Bugis, 2006, Jakarta: Nalar, cet.
I
-
Hamdan Basyar, Identitas
Minoritas Muslim di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan,
2010, Jakarta: LIPI Press
-
Hasil diskusi dengan H. Mansyur,
salah satu sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’
Serangan Denpasar Selatan
-
http://bali.bps.go.id/
-
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis
-
http://wiki.aswajanu.com/Pesantren_di_Propinsi_Bali
-
http://www.rappang.com/2010/02/kampung-bugis-di-bali-serangan.html
-
Maimunah, Binti, Tradisi
Intelektual Santri, 2009, Yogyakarta: Teras
-
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tt., vol. I
-
Nengah, Bawa Atmadja, Geneologi
Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Hindhu di Bali,
2010, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I
-
Riyadi, M. Irfan, dkk, Membangun
Inklusivisme Faham Keagamaan, 2009, Ponorogo: STAIN Press Ponorogo
-
Seminar H. Robani di Cah Ayu Shop
pada 5 Februari 2013
-
Setia, Putu, Bali yang Meradang,
2006, Denpasar: Pustaka Manikgeni
-
Setia, Putu, Mendebat Bali,
2002, Denpasar: Manikgeni
-
Wawancara dengan KH. Nurhadi Ponpes
Raudhatul Huffadz pada 4 Februari 2013
-
Zagorin, Perez, How the Idea of
Religious Toleration Came to the West, 2003, Princeton University Press
LAMPIRAN
Daftar Peserta
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Kelompok III
Pembimbing: Muh.
Syaifuddien Zuhriy, M. Ag
NO
|
NIM
|
NAMA
|
JURUSAN
|
1.
|
094111026
|
NILNAS
SA’ADAH
|
AF
|
2.
|
094111028
|
SITI KHOIRUL
AF’IDAH
|
AF
|
3.
|
094111030
|
UMI HAFSAH
|
AF
|
4.
|
094111031
|
YULLAILY
ROHMATIN
|
AF
|
5.
|
094211062
|
MUHAMMAD
TAUFIK
|
TH
|
6.
|
094211063
|
MUHAMMAD
ZUBAIR HASAN
|
TH
|
7.
|
094211064
|
MUHAMMAD
AKMALUDDIN
|
TH
|
8.
|
094211067
|
MUNFARID
|
TH
|
9.
|
094211070
|
SHOHIBUL
HABIB
|
TH
|
10.
|
094211059
|
MOH AS’AD
KHOLIL ALIM
|
TH
|
11.
|
094211035
|
AHMAD YAZID
TAQI
|
TH
|
12.
|
094211044
|
ALFI QONITA
BADI’ATI
|
TH
|
13.
|
094211045
|
AMINATI
|
TH
|
14.
|
094211048
|
AUFAL KHIMA
|
TH
|
15.
|
094311001
|
EKA SEPTI
ENDRIANA
|
PA
|
16.
|
094411015
|
ROFI’ATUS
SHOLIHAH
|
TP
|
17.
|
094411017
|
SULASTRI
|
TP
|
18.
|
094411027
|
ASTRI
YULIANA
|
TP
|
19.
|
094411029
|
AMALIA
FITRIANI
|
TP
|
20.
|
094411018
|
SYAEFUL
AMRON
|
TP
|
21.
|
094411019
|
UMAR FARUK
|
TP
|
22.
|
094411021
|
AHMAD
ATHO’ILLAH
|
TP
|
23.
|
094411023
|
ARIFIN
|
TP
|
Susunan Kelompok III
Pembimbing:
Muh. Syaifuddien Zuhriy, M. Ag
Ketua: Muhammad
Akmaluddin
Sekretaris: Alfi Qonita
Badi’ati
Bendahara: Astri Yuliana
Anggota:
Nilnas Sa’adah, Siti Khoirul Af’idah, Umi
Hafsah, Yullaily Rohmatin, Muhammad Taufik, Muhammad Zubair Hasan, Munfarid, Shohibul
Habib, Moh As’ad Kholil Alim, Ahmad Yazid Taqi, Aminati, Aufal Khima, Eka Septi
Endriana, Rofi’atus Sholihah, Sulastri, Astri Yuliana, Amalia Fitriani, Syaeful
Amron, Umar Faruk, Ahmad Atho’illah, Arifin
Rundown Kunjungan:
Senin, 13 Februari 2013: Pondok Pesantren
Raudlatul Huffadz
Selasa, 14 Februari 2013: Cah Ayu Shop
Rabu, 15 Februari 2013: Kampung Muslim Bugis
Serangan
[2] Beliau adalah ulama Kudus dan
pendiri Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an di Desa Kajeksan Kecamatan Kota
Kabupaten Kudus. Santrinya tersebar ke seluruh penjuru Nusantara
[3]
Di Tabanan, peran Islam dan Muslim telah ada sejak awal abad 19. Oleh
karena itu kebersamaan dan keharmonisan umat Islam dan masyarakat Hindu di Bali
telah terbentuk.
[4]Nengah, Bawa Atmadja, Geneologi
Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Hindhu di Bali, 2010,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I. hlm 373
[6] Para ulama Islam yang menyebarkan
Islam di Pulau Jawa. Mereka cenderung menggunakan pendekatan budaya agar Islam
dapat diterima oleh masyarakat Jawa yang sangat kental dengan adat agama yang
mereka anut sebelumnya. Sehingga muncul istilah seperti akulturasi yang sampai
sekarang hasil akulturasi budaya tersebut masih tetap dilestarikan oleh
masyarakat Jawa.
[7]Konsep tentang toleransi dalam
Islam dapat dilihat dalam Piagam Madinah yang menunjukkan bahwa nabi Muhammad
mengakui dan melindungi pemeluk agama lain dan juga ayat al- Qur’an yang
berbunyi لاإكراه فى الد ين “tidak ada paksaan dalam agama”
[8]Hamdan Basyar, Identitas
Minoritas Muslim di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan ,
2010, Jakarta: LIPI Press
[9] Berkembang rumor bahwa kaum Hindu
akan dikenai sanksi manakala membeli bakso, tahu goreng, mie goreng atau
makanan dan jasa lain yang ditawarkan warga muslim. Ada aturan adat yang akan
mendenda sampai Rp. 50.000 bagi orang-orang Bali yang membeli bakso Jawa
(kebanyakan muslim). Isu itu disertai langkah koperasi Bali mendirikan
bakso-bakso babi Bal/Bakso Pakramani. Langkah ini sempat menggejala diseluruh
wilayah Bali, tak terkecuali kabupaten Tabanan. Tujuan eksplisitnya adalah
-memberdayakan ekonomi umat Hindu, tetapi bagi komunitas Muslim langkah ini
dinilai memiliki tujuan implisit untuk mematikan perekonomian kaum pendatang
agar mereka ”pulang kampung".(Hamdan Basyar, Identitas Minoritas Muslim
di Indonesiai: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan Tabanan , 2010, Jakarta:
LIPI Press) dikutip dari Putu Setia, Bali yang Meradang, 2006,
Denpasar: Pustaka Manikgeni , hlm. 20.
[10] Di Kabupaten Tabanan diterapkan
aturan, untuk mendapatkan KTP umat Islam harus punya tanah rumah dengan
menunjukkan sertifikat rumah. Tanpa persyaratan ini, meski si muslim telah
puluhan tahun tinggal di Bali, dia tak akan diterima sebagai warga dan dianggap
sebagai penduduk liar .
[15] Teori yang menekankan individu
sebagai objek yang secara langsung dapat ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lainnya. Binti, Maimunah, Tradisi
Intelektual Santri, 2009, Yogyakarta: Teras, hlm. 60 dikutip dari Riyadi,
Soeprapto, Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern, 2002
hlm. 63
[17] http://www.rappang.com/2010/02/kampung-bugis-di-bali-serangan.html
diakses pada 11 Februari 2013.
[18] Hasil diskusi dengan H. Mansyur, salah satu
sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’ Serangan
Denpasar Selatan
[19] Hasil diskusi dengan H. Mansyur, salah satu
sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’ Serangan
[20] Hasil diskusi dengan H. Mansyur, salah satu
sesepuh Kampung Bugis pada 6 Februari 2013 di Masjid asy-Syuhada’ Serangan
[25]
Artinya “jika ada padi yang tumbang dan ada
keinginan untuk berdiri lagi, maka pasti akan ada isinya. Maksudnya, harus mau
bangkit jika ingin berhasil
[29]
Abd al-Baqi, M. Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfadzh al-Qur’an al-Karim, 1364 H, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, hlm.
483 – 488
[30] Zagorin, Perez,
How the Idea of Religious Toleration Came to the West, 2003, Princeton
University Press, hlm. 14,
[31] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim,
Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tt., vol. I hlm. 68
[32] M. Irfan Riyadi, dkk, Membangun Inklusivisme
Faham Keagamaan, 2009, Ponorogo: STAIN Press Ponorogo, hlm. .2
0 Comments
Silahkan meninggalkan saran dan masukan terkait blog ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.