Oleh: Muhammad
Akmaluddin *)
Bicara tentang tradisi tulisan
dan lisan, mungkin banyak yang mungkin belum mengetahui tentang bagaimana cara
mengutip pendapat orang lain. Kedua tradisi tersebut mementingkan bagaimana
seseorang mengutip sumber dari orang lain. Dalam ‘ulum al-hadis, penyampaian
dan penerimaan informasi mempunyai beberapa tingkatan dan kualitas yang
berbeda. Namun intinya semua informasi yang ada dalam penerimaan dan
penyampaian mempunyai sumber yang terpercaya (tsiqah), baik dari sisi
personal maupun konten. Standar ini kemudian dibakukan dan dikodifikasikan oleh
para ulama, walaupun semuanya belum sepakat tentang hal-hal yang mendetail.
Otoritas penyampaian dan
penerimaan informasi (periwayatan) yang tidak sesuai standar yang telah
ditetapkan dianggap kurang absah. Standar inilah yang kemudian dimodifikasi dan
ditetapkan dalam setiap informasi yang ada dalam kajian akademis, jurnalistik
maupun ngaji di pondok pesantren. Oleh karena itu, tidak heran bila
dalam ngaji di pondok, sekolah, madrasah atau di pengajian, seseorang
akan menemukan guru atau da’i menyebutkan sumbernya. Namun penyebutan sumber
informasi ini semakin hari semakin hilang, bahkan terkadang dipalsukan.
Mengutip informasi tanpa
menyebutkan sumbernya disebut sebagai plagiarisme atau disebut sebagai hadis dla’if,
(lemah) bahkan bisa sampai maudlu’ (palsu). Dalam kajian akademik di
perguruan tinggi, pondok pesantren maupun jurnalistik, plagiarisme adalah dosa
besar yang tidak dimaafkan. Di perguruan tinggi, seseorang wajib menyertakan
referensi yang diambil dalam mengerjakan tugas makalah atau tugas akhirnya. Di
pondok pesantren, tiap orang harus menyebutkan maraji’ beserta ‘ibarat
dalam bahtsul masa’il atau musyawarah. Di dalam jurnalistik, wartawan atau
penulis harus menyertakan sumber informasi atau data untuk memperkuat
tulisannya.
Tradisi penyebutan sumber informasi
sudah ada dalam berbagai aspek kehidupan. Ada tidaknya penyebutan sumber
informasi terkait dengan kualitas seseorang yang menyampaikan informasi
tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah SAW selalu memerintahkan untuk
mengedepankan klarifikasi (tabayyun) dan cek validitas dalam setiap
informasi yang diterima. Apalagi jika informasi tersebut berasal dari orang
kurang tsiqah atau tidak jelas asal rimbanya seperti di media sosial.
Menghindari Plagiarisme
Standar penerimaan dan
penyampaian informasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan di
Andalusia, yang dipenuhi oleh para ulama papan atas, terpaksa menurunkan
standar tersebut. Tapi bukan berarti tidak ada standar dalam penerimaan dan
penyampaian informasi. Misalnya salah satu ulama Andalusia, Muhammad bin Sa’id
al-Qurthubi, mengijazahkan semua riwayatnya kepada siapa pun yang masuk ke
Cordoba. Riwayat tersebut tidak kemudian bebas disalin dan dikutip, namun
banyak murid dan ulama lain yang telah meriwayatkannya dengan standar dan
aturan yang telah ditetapkan. Riwayat yang bebas beredar di masyarakat pun
kemudian bisa divalidasi oleh otoritas riwayat dari murid dan ulama lain yang tsiqah.
Dalam hal ini, ada check and recheck riwayat secara otomatis walaupun
beredar bebas.
Di era globalisasi ini, di mana
manusia hidup dalam ruang dan waktu yang tanpa batas, informasi menjadi liar
tak terkendali. Misalnya seseorang bisa menyebarkan informasi yang
dikehendakinya di media sosial dengan menyalin dan menempelnya (copy and
paste). Tradisi copy and paste ini tidak terbatas dengan jumlah
karakter dan tanpa biaya sehingga semua orang bisa melakukannya. Padahal
tulisan yang disalin itu belum tentu benar dan valid. Akibatnya, informasi yang
seharusnya benar menjadi salah dan sebaliknya. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk membuat informasi yang tidak
benar, mencatut nama orang-orang terkenal dan berpengaruh, dengan ditambah meme
dan kemudian menyebarkannya untuk memperoleh keuntungan material dan
immaterial. Misalnya adalah kelompok Saracen, yang membentuk sindikat dan
jaringan maya untuk kepentingan pemesan informasi.
Oleh karena itu, untuk
menghindari informasi yang salah dan tidak valid adalah dengan menghindari copy
and paste. Begitu juga dengan membagikan status dari orang yang tidak
jelas, dari media yang tidak independen atau blog pribadi, dari akun palsu dan
gambar serta video yang aneh dan membuat penasaran. Apalagi menyebarkan
informasi yang politis dan yang mengancam disintegrasi bangsa, utamanya
menjelang pemilihan kepala daerah dan presiden. Lalu bagaimana plagiarisme ala manhaj
nabawi yang membawa keberkahan dan kemuliaan?
Plagiarisme Yang Berkah
Plagiarisme yang berkah adalah
yang berasal dari Rasulullah SAW dan para ulama yang mewarisi beliau. Misalnya
adalah dengan mengikuti perkataan Rasulullah SAW dan para ulama serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi pesantren ada
kebiasaan menyebutkan maqalah, mahfudhat atau perkataan ulama, baik
dengan menyebutkan sumbernya maupun tidak. Kutipan seperti ini adalah bentuk
kutipan yang baik. Prinsipnya adalah hadis Rasulullah SAW, yaitu yassiru wa
la tu’assiru, basysyiru wa la tunaffiru (mempermudah, bukan mempersulit;
menggembirakan, bukan menakutkan). Jadi kutipan para romo kiai yang menentramkan
dan menyejukkan harus disebarkan. Pasalnya, banyak yang menyebarkan kutipan
yang mempersulit dan menakutkan dari orang-orang yang tidak jelas.
Pada masa keemasan Islam, para
ulama biasanya menyebarkan gagasannya melalui kitab dan majlis ilmu. Mereka melakukan
beberapa klarifikasi atau sanggahan atas kitab lain atau pendapat yang berbeda.
Begitu seterusnya hingga informasi keilmuan Islam dapat dijumpai di tiap
generasi, bahkan bisa dicek kebenarannya sampai sekarang. Misalnya beberapa
kutipan dalam kitab al-Ibriz li Ma‘rifah al-Qur’an al-‘Aziz karya KH.
Bisyri Musthofa yang disebutkan kutipannya, dapat dilacak dalam beberapa kitab
tafsir sebelumnya. Misalnya kutipan dari Hasyiyah al-Jamal ‘ala al-Jalalain,
Tafsir al-Baidlawi, Tafsir al-Khazin, juga beberapa kitab qira’at (variasi
bacaan al-Qur’an) seperti Ghaits al-Naf‘i karya al-Shafaqusi dan Hirz
al-Amani karya al-Syathibi.
Dalam kajian hadis, semakin
banyak riwayat yang disebarkan maka akan semakin memiliki frekuensi (tawatur)
dan validitas. Berbeda dengan hadis yang sudah diseleksi dan diatur standar
periwayatannya, informasi di media sosial dan dunia nyata adalah sebaliknya.
Semakin banyak kebohongan dan fitnah disebarkan, maka kebohongan dan fitnah
tersebut akan bermetamorfosis menjadi kebenaran dan sanjungan. Misalnya adalah
memanipulasi hadis tentang bendera dan panji Rasulullah. Mereka berimajinasi
menggambarkan bendera dan panji Rasulullah yang kemudian digunakan sebagai
legitimasi setiap kekerasan dan pembunuhan. Bahkan di awal Desember 2017, para
politisi dan mereka yang dianggap ulama tidak segan-segan mengisi Maulid
Rasulullah SAW dengan ujaran kebencian serta bendera dan panji Rasulullah versi
imajinasi mereka.
Biasanya kelompok sumbu pendek
yang melakukan manipulasi informasi, mengarahkan pada pendapat yang subyektif
dan kemudian menyebarkannya ke situs, media sosial, media pesanan, dengan tanpa
disertai data yang berimbang atau klarifikasi dan cek sumber informasi. Mereka
hanya kejar rating tulisan, trafik kunjungan, iklan dari pihak asing dan
keuntungan lainnya dengan mengatasnamakan agama. Ada hadis tanya shahih apa
tidak, giliran ada orang membagikan informasi yang tidak jelas langsung share
(bagi) dan sell (jual) agar terkenal dan dianggap menjadi penebar
kebaikan.
Oleh karena itu, masyarakat
pesantren yang terkenal dengan kesantunan dan kedamaian harus selalu aktif
menyebarkan kebaikan dalam berbagai media, baik media sosial maupun media
lainnya. Masalah kebenaran dalam era globalisasi sekarang bukanlah kebenaran
itu sendiri, namun lebih kepada bagaimana kebenaran itu diciptakan dan
dikondisikan agar terlihat sebagai benar. Sebagaimana disebutkan dalam suatu maqalah
bahwa kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan kebatilan yang
terorganisir (al-haqq bi la nidham yaghlibuhu al-bathil bi al-nidham).
*) Dosen di
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang,
Pengajar di PP. Darul Falah Be-songo dan PP.
Ulil Albab lil Banin Semarang
Social Plugin