Oleh: Muhammad
Akmaluddin*)
Iman kepada para rasul merupakan salah satu rukun iman.
Mengingkari salah satu rasul Allah adalah tanda kurangnya iman seseorang. Dalam
level yang paling bahaya, tidak adanya iman kepada salah satu rasul dianggap
sebagai tanda kemusyrikan. Misalnya adalah orang Yahudi dan Nasrani yang hanya
mengimani kitab dan nabi mereka, tapi mengingkari al-Qur’an dan Nabi Muhammad
sebagai rasul Allah. Oleh karena itu, iman kepada semua rasul Allah hukumnya
wajib, termasuk iman kepada Nabi Isa. Sebagaimana makhluk Allah yang lain, Nabi
Isa dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya. Namun tidak seperti makhluk lain
yang dilahirkan dari ibu dan bapak, Nabi Isa dilahirkan hanya dari seorang ibu
tanpa bapak.
Sebuah sya’ir yang dikutip dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith
dan Syarh al-Asymuni mengatakan: “ala rubba maulud wa laisa lahu
abun, wa dzi walad lam yaldahu abawani” yang kurang lebih artinya “sedikit
sekali bayi yang lahir tanpa bapak, begitu juga dengan anak yang tidak
dilahirkan dari ibu dan bapak.” Syair tersebut sebenarnya menyindir orang yang
heran dan berpolemik dengan kelahiran Nabi Isa, padahal ada yang lebih
mengherankan dari beliau, yaitu Nabi Adam. Jikalau Nabi Isa lahir tanpa bapak,
maka Nabi Adam ada tanpa bapak dan ibu. Sepengetahuan penulis, penulis kitab
tafsir dan hadis dari Masyriq ke Maghrib, atau dari Indonesia ke Andalusia,
tidak ada satu pun yang mengingkari kelahiran Nabi Isa.
Memang fenomena Nabi Isa pada waktu itu kemudian menjadi
perdebatan penduduk sekitar yang memuliakan keluarga Maryam binti ‘Imran.
Maryam dituduh berzina, selingkuh dan lainnya. Mereka menuduh Maryam tanpa ada tabayyun
atau klarifikasi terlebih dahulu, bahkan memfitnah dan mengejeknya. Beliau
menyuruh orang-orang yang memfitnahnya untuk bertanya langsung kepada Nabi Isa
yang baru lahir. Kemudian Nabi Isa menjawab bahwa dirinya adalah hamba Allah,
yang diberi kitab dan menjadi utusan-Nya.
Serangkaian irhash (kejadian di luar hukum alam
sebelum kenabian) muncul menyambut kedatangan Nabi Isa, mulai dari kelahiran
tanpa bapak, air yang mengalir di bawah kaki Maryam, pohon kurma yang masak,
berbicara waktu masih bayi dan lainnya. Kelahiran Nabi ‘Isa Putera Maryam
memang menjadi kontroversi, kapan dan dimana tepatnya. Al-Qur’an sendiri tidak
menjelaskan hal tersebut, hanya mengutip pertanyaan Nabi ‘Isa ketika masih
kecil dalam QS. Maryam: 33, yaitu “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali.” Di hari kelahirannya, dalam istilah al-Qur’an,
‘Isa bin Maryam sendiri meminta agar dijadikan pada hari tersebut dijadikan
sejahtera.
Waktu dan Tempat Kelahiran Nabi
Isa
Terkait waktu kelahiran Nabi Isa (yang disebut sebagai
Natal, Milad, Christmas, Navidad dan lainnya), umat Nasrani mempunyai dua versi
yang berbeda. Bagi Kristen Ortodoks, yang sebagian besar ada di Timur Tengah
seperti Mesir, Palestina, Rusia dan bekas Uni Sovyet dan Turki, Natal dirayakan
pada 7 Januari. Adapun umat Katolik seperti di Eropa, Amerika dan Indonesia,
hari Natal jatuh pada 25 Desember. Sejarah tentang perbedaan waktu kelahiran
ini sangat panjang dan menjadi perdebatan sepanjang sejarah. Sejarah ini bukan
sejarah yang biasa, tapi yang melibatkan berbagai elemen seperti kekuasaan
Romawi dan Byzantium, politik, pengetahuan, ideologi hingga persaingan para
agamawan Kristen yang berebut pengaruh. Apalagi dalam sejarahnya, perayaan
Natal dilakukan beberapa abad setelah kelahiran Nabi Isa.
Kedua terkait dengan tempat. Banyak yang mengatakan
bahwa Nabi Isa lahir di Bethlehem atau Bait Lahm. Namun masyarakat Israel purba
mereka mengenal ada dua kota Betlehem, kota Betlehem di Tepi Barat dan satunya
lagi berada di tanah Zebulon. Perlu diketahui bahwa Bethlehem adalah tempat
menyatunya (terbungkusnya) tulang belulang dengan daging Bani Israil yang
disaksikan oleh Nabi Hazqiyal (Yehezkiel). Dari segi waktu dan tempat kelahiran
Nabi Isa, belum ada ittifaq atau ijma’ sampai sekarang. Bahkan
data historis dan arkeologis (artefak kelahiran), astronomis (musim buah kurma yang
dimakan Maryam), agraris (kualitas buah kurma yang dimakan), hidrologis (air
yang ada di samping Maryam ketika Nabi Isa lahir) dan lainnya belum bisa
mengarahkan pada sidang itsbat kapan Nabi Isa lahir. Begitu juga dengan rafa‘
(pengangkatan) Nabi Isa ketika dikejar musuh-musuhnya.
Orang-orang Nasrani memperingati kelahiran Nabi Isa Putera
Maryam, yang tidak jelas waktu dan tempatnya, dengan sangat antusias dan bahkan
dijadikan hari raya mereka. Sedangkan kelahiran Nabi Muhammad, yang jelas waktu
dan tempatnya, malah dikafirkan dan dibid’ahkan. Bahkan situs rumah dan
peninggalan Nabi Muhammad dihilangkan dengan alasan memurnikan ajaran Islam,
dan sebagian dijadikan hotel serta tempat bisnis. Untung sebagian koleksi
barang Nabi Muhammad dan sahabatnya masih bisa diselamatkan dan disimpan oleh
Dinasti Usmaniyyah di Topkapi Palace, Turki. Sebagai umat yang mengimani nabi
dan rasul sebelum Nabi Muhammad, kiranya kita harus mengimani nubuat Nabi Isa
dan irhas pada hari kelahirannya. Artinya bukan berarti Natal itu sama
dengan Maulid. Juga bukan berarti bahwa kita harus merayakan Natal dan
mengikuti prosesinya, tapi sekedar menghormati dan tidak menganggu mereka.
Belajar Saling Menghormati
Gus Dur dalam salah satu artikelnya, “Harlah, Natal dan
Maulid” membedakan antara Harlah, Natal dan Maulid. Hari lahir (harlah)
digunakan untuk lahirnya seseorang atau lembaga dan tidak ada kaitannya dengan
agama. Adapun Natal khusus digunakan kaum Nasrani untuk memperingati kelahiran
Isa al-Masih, dan Maulid digunakan kaum Muslimin untuk memperingati kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Gus Dur kemudian melanjutkan bahwa jika seseorang duduk
bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka,
seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak
turut dalam ritual kebaktian. Menurut Gus Dur, hal ini masih menjadi 'ganjalan'
bagi kaum Muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan 'dianggap'
turut kebaktian yang sama. Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di
sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika
telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk
menghormati kelahiran Isa Almasih.
Kejadian duduk bersama dalam kebaktian Natal ini pernah
menjadi topik populer beberapa tahun lalu, utamanya ketika kelompok Islam sumbu
pendek memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Pasalnya, beberapa mahasiswa
Islam dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di beberapa daerah
di Pulau Jawa ikut serta dalam kebaktian adalah murni untuk tujuan belajar dan
mengamati proses kebaktian guna kepentingan akademis. Hal tersebut ditegaskan
dalam rilis pres pihak kampus di laman situs resminya. Namun kelompok sumbu
pendek memelintir berita bahwa mahasiswa PTKIN ikut misa Natal dan kemudian
menguatkan pendapatnya dengan para akademisi yang sependapat dengan mereka.
Tidak sampai situ, kelompok sumbu pendek juga melakukan
provokasi pada masyarakat awam bahwa Barisan Ansor Serba Guna (Banser), yang
merupakan sayap organisasi GP Anshor, lebih memilih melindungi orang Nasrani
daripada pengajian Islam. Padahal faktanya jika gereja tidak dijaga Banser,
maka prosesi Natal akan diganggu sumbu pendek dan akibatnya umat Islam dituduh
sebagai pelaku teror. Oleh karena itu, menjaga gereja bukanlah mengikuti agama
gereja itu, tapi menjaga kesatuan dan keamanan negara dari rongrongan kelompok
makar. Toh nyatanya Banser juga menjaga dan mengamankan pengajian umat Islam, utamanya
di daerah yang dikuasai sumbu pendek, agar tidak dirusuhi mereka.
Dari beberapa tuduhan yang dialamatkan pada mahasiswa PTKIN
dan Banser, jelaslah bahwa kaum sumbu pendek tersebut banyak mewarisi
musuh-musuh Nabi Isa, yang menuduh Maryam binti ‘Imran melakukan kemungkaran
tanpa adanya tabayyun, dialog, saling memahami dan saling menghormati.
Mereka hanya bisa menuduh dan memfitnah, tidak pernah mau membaca tafsir,
sejarah dan relasi antar umat beragama. Kalaupun membaca, pasti dari broadcast
tidak jelas, yang provokatif, tanpa meneliti validitas informasi yang diterima.
Bahkan setelah tabayyun dan ijma’ pun terkadang mereka masih
meneruskan informasi yang tidak valid tersebut secara diam-diam.
Kiranya kaum sumbu pendek ini dibelikan tiket, dibuatkan paspor
dan visa perjalanan ke Mesir, Palestina dan beberapa daerah di Timur Tengah.
Tujuannya agar mereka bisa melihat bagaimana pemimpin Muslim dan penduduk
negara tersebut menghormati, menjaga, bahkan “mengikuti” prosesi Natal di
gereja umat Nasrani di sana. Juga biar mereka tahu bahwa yang merayakan Natal
di sana adalah perempuan berjilbab dan berwajah Arab. Gerejanya juga bernama
Arab, seperti Gereja Koptik Sayyidah al-‘Adzra’ (Santa Maria). Tapi
janganlah, kasihan kalau mereka tersesat dan tidak bisa pulang. Kan mereka
tidak paham bahasa Arab, apalagi nahwu sharaf. Belajar agamanya pun tanpa guru,
dari buku terjemahan. Bahkan belajar dari ustadz artis dan situs yang banyak
iklan dan promonya. Bukan dari ngaji kepada kiai atau ulama akhirat.
*) Pengajar di
PP. Ihya’ussunnah Assaniyyah Loram Kulon Jati Kudus,
Dr. Cand., Studi Qur’an dan Hadis UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Social Plugin