Nama kitab :
Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi
Nama Pengarang :
Bakri Syahid
Penerbit :
Bagus Arafah, 1976
A.
Sekilas Pengarang
Bakri Syahid
dilahirkan di desa Surotanan, kecanatab Ngampilan, kota madya Yogayakarta pada
hari Senin Wage tanggal 16 Desember 1918. Pendidikan umumnya dimulai belajar di
Standar School Yogayakarta dan
lulus pada tahun 1930, kemudian melanjutkan di Kweekschool Islam Muhammadiyah dan tamat pada tanggal 29
Juli 1935. Pernah menjadi guru H.I.S Muhammadiyah Sepanjang, Surabaya juga
pernah di Sekayu, Palembang sampai tahun 1942. Pada tahun 1957 mendapatkan
kesempatan menimba ilmu di Institut Agama Islam Negri (IAIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta sampai lulus pada tanggal 16 Januari 1963 sebagai sarjana Syari’ah.
Pendidikan
militernya dimulai di Candradimuka Bandung lulus pada tahun 1953. Dilanjutkan
di LPDI Curup lulus tahun 1955, kemudian juga pernah belajar militer di STII
Inf. Palembang selesai pada tahun yang sama, 1955. Kemudian pada tahun 1964
atas perintah Jendral Ahmad Yani, Bakri Syahid diberi kesempatan melanjutkan
belajar militer di Army Chaplain School Amerika Serikat tepatnya di Fort
Hamilton, New York, U.S.A. pernah juga belajar militer dengan menjadi anggota
Pelajar Angkatan Darat di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1957.
B.
Sekilas Tentang Kitab Al-Huda
Latar belakang
penulisan kitab Al-Huda ini ialah tercermin dari pimpinan MUI DIY, BPH
H. Purbaningrat, beliau mengatakan bahwa pada masa itu banyak muncul
kitab-kitab tafsir dan terjemah Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Indonesia.
Tetapi sepengetahuan beliau masih sedikit yang membuat dengan bahasa daerah.
Sistematika
penulisan kitab Al-Huda ialah dengan cara penyajian runtut, yaitu
disusun utuh 30 juz, dan rangkaian penyajiannya sesuai urutan surat yang ada
dalam mushaf Usmani. Dan sistemika penulisannya sebagian besar mengikuti
pada Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan Departemen Agama. Hal
ini diperkuat dengan pernyataan Bakri “baboning terjemah dhumateng basa jawi
ing antawisipun saking kitab “Al-Qur’an dan Terjemahannya” Departemen Agama
RI tahun 1965.
Adapun teknis
penulisan kitab Al-Huda adalah sebagai berikut :
1.
Di awal surat ditulis nama surat,
kategori surat (Makkiah/Madaniah) serta jumlah ayat ditulis di atas
menggunakan bahasa Arab, kemudian ditransliterasi ke dalam huruf latin,
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan huruf kapital.
2.
Setiap surat diawali basmalah besrta
bacaan lain di bawahnya terletak di samping kiri, dan terjemahnya dalam bahasa
Jawa berada di samping kanan.
3.
Terjemah persatu ayat sejajar dengan
ayat Al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa
4.
Pembagian atau pengelompokan ayat-ayat
setema ditulis dengan judul khusus menggunakan dengan huruf tebal di atas
terjemahan menggunakan bahasa Jawa. Pemberian judul sesuai dengan ayat yang
dikaji. Misal pada Q.S. Al-Maidah ayat 89-93, diberi judul “sumpah lan
kaffarat (tebusane)”.
5.
Setiap lembar pada bagian atas ditulis
nomor surat keberapa, nama surat dengan bahasa latin dan diterjemahkan dalam
bahasa Jawa, urutan juz, dan adapun nomor halaman ditulis di bawah
6.
Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an ditulis
dalam bentuk footnote yang nomornya urut dari 1 sampai 1060 dari surat Al-Fatihah
sampai Al-Nas.
Bentuk penafsiran
yang digunakan oleh Bakri menggunakan bentuk penyajian global, -tanpa ada
analisis dari beliau sendiri- dan penyajian rinci, detail. Serta jarang
menyantumkan asba>b al-nuzu>l ayat Al-Qur’annya.
Contoh Penafsiran
Pada Q.S Yusuf: 21, beliau menyebutkan “saweneh
ahli tafsir anerangaken billih garwa menika garwanipun satunggaling pangageng
ing kerajaan Mesir dinasti Fir’aun ingkang asma Zulaikha.
“ lan nalikane Pangeran
sesembahanerangetoake tedhak turune anak Adam saka gegere wong tuwane, lan
panjenengNe nyekseake marang jiwa-jiwane wong-wong mau, saran dhawuhing
Allah:apa Ingsun iku dudu Allah Pangeran sesembahanira kabeh?dheweke pada
munjuk atur: inggih kita sami nyekseni, menawi Padhuka puniuka Pangeran
sesembahan kita. Kang mengkono mau besuk ana injg dhina Qiyamat aja nganti sira
pada ngucap:sayektos bab kita punika sami kesupen”.
Penafsiran:
Dados mboten perlu lajeng minggah redi
utawi dateng pesisir ingkang wingit, mlebet guwa ingkang angker, wonten wono
piyambakan, yen ngendikan ngangge isyarat, kersa dhahar menawi dipun sukani
tiyang. Lan sanes-sanesipun cara aneh-aneh nyentrik lan luar biasa. Punika
sedaya menggahing Islam mboten cocok kalian fithrahing menungsa ingkang wajib
padhos rizki saran halal tur ingkang sahe.”
Social Plugin