PERIWAYAT KHAWARIJ DALAM LITERATUR HADIS SUNNI





A.    RINGKASAN
Jenis Penelitian     : Tesis
Jurusan                 : Konsentrasi Hadis dan Ilmu Hadis
Penulis                  : Ahmad 'Ubaydi Hasbillah
NIM                     : 10.2.00.1.05.09.0059
Pembimbing         : Dr. Fuad Jabali, MA
Universitas           : Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun                   : 1434 H/ 2013 M

1.      Abstraksi
Tesis ini berkesimpulan bahwa semakin tinggi komitmen seseorang terhadap Sunn ah Nabi, semakin dapat menetralisir bias ideologi dalam periwayatan hadis. Maka, ideologi seorang periwayat tidak dapat dijadikan sebagai alasan penolakan sebuah hadis. Tesis ini juga menunjukkan bahwa seorang penganut ideologi sektarian dapat meriwayatkan hadis secara objektif. Di samping itu, fenomena periwayatan lintas ideologi menunjukkan bahwa efek perbedaan ideologi tidaklah signifikan dalam proses periwayatan, namun cukup signifikan dalam validasi dan pemahaman hadis.
Kesimpulan ini berbeda dengan kesimpulan Maya Yazigi bahwa hadis tidak otentik dari Nabi karena sektarianisme orang-orang yang terlibat dalam hadis tersebut. Kassim Ahmad juga meragukan otoritas hadis karena hadis Nabi bias ideologi, bertentangan dengan rasio, bias gender, dan rasis. Demikian juga William Muir dalam The Life of Mahomet, yang menyatakan bahwa hadis tidaklah otentik dari Nabi karena dalam periwayatannya sangat bias dan sarat dengan pemalsuan. Kebergantungan pada individu periwayat dan perselisihan politik-keagamaan antar komunitas muslim adalah penyebab utamanya.
Pada saat yang sama, kesimpulan ini juga sama dengan tesis ‘A’id} al-Qarni> dan Muh}ammad Must}afa> al-A‘zami> yang menyatakan bahwa periwayatan seorang penganut ideologi sektarian juga dapat diterima selama tidak provokatif atau mendukung ideologinya. Tesis ini juga menguatkan teori al-Qa>simi> tentang "al-mubadda'un'' yang menolak pelabelan bidah kepada para penganut ideologi non-Sunni dan penetapan jarh} terhadap seorang periwayat karena tidak berideologi Ahlussunnah.
Kesimpulan ini diperoleh dari analisis sosio-historis terhadap beberapa kasus periwayatan hadis dari para periwayat yang berafiliasi dalam kelompok-kelompok ideologi. Data-data penelitian diperoleh melalui kajian pustaka (library research) dengan menggunakan ilmu takhrij al-hadith dan rijal al-hadith. Dalam proses identifikasi, sumber yang dipakai adalah literatur-literatur rija>l al-h}adi>s\ seperti Tahz\i>b al-Kama>l karya al-Mizzi>, Tahz\i>b al-Tahz\i>b karya Ibn H{ajar al-'Asqala>ni>, al-Jarh} wa al-Ta‘di>l karya Ibn Abi> H{a>tim al-Ra>zi>. Sementara itu, dalam proses inventarisasi digunakan literatur-literatur hadis induk seperti al-kutub al-sittah. Selanjutnya, data yang diperoleh dibaca secara kritis dengan pendekatan ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l dan teori message reception and processing yang merupakan bagian dari ilmu komunikasi.

2.      Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Permasalahan
Perdebatan Akademik           
Sumber Penelitian
Metode Penelitian
Signifikansi Penelitian
Langkah Operasional Penelitian

BAB II DISKURSUS IDEOLOGI DAN PURIFIKASI HADIS
Otentisitas Hadis dalam Perdebatan
Problem Ideologi dalam Periwayatan
Ideologi dan Orisinalitas Pesan Kenabian
BAB III PERIWAYAT HADIS DALAM DIALOG ANTAR IDEOLOGI
A. Afiliasi Ideologi; Sebuah Keniscayaan Bagi Periwayat
1. Generasi Teladan; Wacana Keterlibatan Sahabat dalam Ideologi
2. Ideologi Politik Praktis; Periwayat Masa Dinasti Umawiyah
3. Ideologi Keagamaan; Periwayat Masa Dinasti Abbasiyah
B. Diskursus Hadis Nabi dalam Berbagai Mainstrim Ideologi
C. Ahli Hadis dan Sektarianisme Sunnah

BAB IV KHAWARIJ DALAM KONSTELASI PERIWAYATAN HADIS
A. Periode Formulasi Hadis dan Genealogi Khawarij
B. Khawarij dan Periwayatan Hadis
C. Dibenci, Tapi Diterima; Khawarij di Mata Ahli Hadis
D. Era Transmisi Hadis sebagai Basis Konsolidasi Sunnah

BAB V SILANG IDEOLOGI DALAM PERIWAYATAN HADIS
A. Tokoh Intelektual Khawarij
1. Generasi Sahabat
2. Generasi Pasca Sahabat
B. Otoritas Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni
C. Periwayatan Lintas Ideologi dan Orisinalitas Pesan Kenabian

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi

3.      Proposal
Secara umum, ada dua masalah besar yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu ideologi periwayat dan otentisitas pesan kenabian yang dibawakannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hadis muncul lebih dahulu dibanding ideologi para periwayatnya? Apakah benar bahwa hadis "diproduksi" untuk mendukung ideologi seseorang? Bagaimana sikap para muhaddith dalam mengambil riwayat dari para perawi,
khususnya yang fanatik? Apakah mereka sangat hati-hati dan selektif, dan mengapa demikian? Apakah keberpihakan (kesamaan) dan perbedaan ideologi tidak berpengaruh pada periwayatan hadis? Apakah periwayatan hadis itu bertendensi politis (mendapat tekanan secara politis dan penuh keterpaksaan) sehingga periwayatan para penyandang ideologi tertentu dapat ditolak karena berbeda ideologi dengan periwayat? Apakah antar simpatisan ideologi tertentu sering terjadi proses saling meriwayatkan hadis sehingga banyak periwayat Sunni yang mengambil riwayat Shi'ah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, dan begitu pula sebaliknya? Bagaimana memastikan bahwa hadis yang disampaikan oleh seorang periwayat dan mendukung ideologinya itu sebagai palsu dan periwayatnya dinyatakan sebagai pembohong? Lalu bagaimana jika ternyata riwayat itulah yang menyebabkan munculnya ideologi tersebut? Mungkinkah problem atau konflik ini hanya terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap teks hadis?
Dari dua variabel besar tersebut, penelitian tidak akan dapat efektif jika tidak dibatasi pada kasus tertentu yang representatif. Maka, penelitian ini dibatasi pada kasus Khawarij sebagai representasi ideologi teo-
politik. Pemilihan Khawarij sebagai sebuah sampel kasus adalah karena adanya data awal yang menyatakan bahwa antara ahli hadis dengan Khawarij terdapat gap ideologis yang cukup kentara. Dalam banyak
literature hadis Sunni, Khawarij selalu dicitrakan buruk, bahkan dianjurkan untuk dibunuh dan diperangi. Namun, riwayat mereka justru bertebaran di berbagai literatur hadis Sunni. Berbeda dengan Shiah dan
Nasibah yang meskipun tidak satu visi dan misi dengan ahli hadis Sunni, mereka tetap tidak halal darahnya. Hal ini juga karena ShIah dan Nasibah masih memiliki "pengayom ideologi" dari generasi sahabat Nabi.
Keunikan Khawarij itulah yang menjadi menarik untuk diangkat dalam penelitian ini.
Berdasarkan permasalahan inti di atas, pertanyaan besar yang akan dijawab oleh tesis ini adalah bahwa dalam kasus periwayatan lintas ideologi, apakah sebuah hadis dapat dijamin orisinalitasnya? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, perlu juga dijawab mengenai apa kriteria reliabilitas seorang periwayat, sehingga hadisnya dapat diterima dalam tradisi periwayatan hadis? Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan karena adanya asumsi awal bahwa keberadaan para periwayat yang disinyalir berideologi tertentu membuat orisinalitas hadis menjadi dipertanyakan.

Kajian tentang otentisitas hadis dan ideologi periwayatnya bukanlah kajian baru. Sebelum melakukan kajian ini, Penulis terlebih dahulu melakukan pemetaan terhadap kajian serupa dalam bidang
yang sama. Setidaknya, ada dua aspek kajian yang dapat digunakan sebagai standar pemetaan terhadap kajian pustaka, yaitu aspek metodologi dan tema. Aspek metodologi, secara singkat adalah mengacu pada
struktur prosedur dalam melakukan penelitian,[1] sedangkan tema merupakan ranah kajian yang diteliti melalui metodologi tersebut. Konsekuensi dari pemisahan tersebut adalah menimbulkan asumsi-asumsi
hipotetis. Sebuah metodologi dapat digunakan untuk berbagai objek penelitian yang berbeda. Demikian pula objek ataupun tema penelitian yang sama juga dapat menggunakan metodologi yang berbeda.
Maya Yazigi dalam "Notes et /and Commentaires/C ommentaries: Hadith al-'Asharah or the Political Uses of a Tradition" menurutnya, hadis al-'asharah di samping prediktif juga bermuatan politis. Dan juga dalam "Defense and Validation in Shii and Sunni Tradition; The Case of Muhammad bin Abu Bakr," menyatakan bahwa keberpihakan atau pembelaan terhadap seseorang melahirkan ideologi sectarian.
Christopher Melchert dalam "Traditionist-Jurisprudents and the Framing of Islamic Law'' menguji evolusi hadis-hadis hukum sunni. Teks-teks hadis tersebut ditelusuri jejak historisnya dengan melihat
konflik antara kelompok rasionalis
(ahl al-ra'y) dan tradisionalis-jurisprudents (fuqaha' ahl al-hadith) abad 2-4 H.
Susan Spectorsky dalam "Hadith in the Responses of Ishaq bin Rahawayh'' mendemonstrasikan cara ulama fikih sunni menggunakan hadis dalam kajian-kajian mereka.
Gleave dalam "Between Hadith and Fiqh: The 'Canonical' Imami Collections of Akhbar,'' Gleave menguji sanad dan matan hadis-hadis yang ada dalam empat kitab hadis induk Shi'ah. Pengujian ini
dilakukan untuk mendiskusikan peran pemikiran fikih Shi'ah dalam susunan dan sajian materi kitab-kitab hadis.
'A'id al-Qarni dalam Tesis Magisternya yang berjudul "al-Bid'ah wa-Atharuha fi-al-Dirayah wa-al-Riwayah" juga menyatakan bahwa para perawi hadis tidak serta-merta menolak riwayat ahli bid'ah,
sebagaimana tidak mudah pula menerimanya.
Michael Cooperson dalam "Ibn Hanbal and Bishr al-Hafi: A Case Study in Biographical Traditions." Dalam tulisan ini, Coopreson menyelidiki bagaimana ahli hadis (hadith minded) dan para
biografer sufi
(sufi biographer) merepresentasikan pahlawan kebanggan masing-masing.
Aceng Abdul Kodir dalam Tesis Magisternya di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta juga mengangkat tema yang sama, ideologi dan periwayatan.
Dengan mengangkat kasus periwayat berideologi Qadariyah, Aceng berkesimpulan bahwa terjadi rekonsiliasi antara ahli hadis dengan para teolog. Aceng menolak jika ada gap di antara ahli hadis dengan
para teolog, sebagaimana yang populer dalam kajian keislaman.

Ada dua variabel penting yang dipakai dalam penelitian ini: ideologi dan otoritas periwayat. Objek material penelitiannya adalah ideologi teologis para periwayat hadis. Sedangkan objek formalnya adalah
hadis-hadis yang diriwayatkannya. Mengingat penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan
(library research), maka langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah:
Pertama, melakukan telaah atas sejumlah literatur yang terkait dengan topik bahasan, terutama yang memuat biografi para periwayat (kutub rijal al-hadith). Langkah kedua, mengidentifikasi sejumlah
periwayat yang disinyalir berideologi tertentu, khususnya yang menjadi tokoh dalam kelompok ideologi tersebut.
Ketiga, melakukan kategorisasi ideologi periwayat hadis. Di sini akan terlihat adanya varian-
varian ideologi periwayat dan pada batas-batas tertentu akan tampak pula berbagai perilaku keberagamaan dan status sosial mereka.
Keempat, menginventarisir sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat
yang dilakukan identifikasi dan kategorisasi tersebut.[2]
Al-Kutub al-Sittah adalah sumber utama untuk melakukan penelusuran ini. Kitab ini dipilih karena keenam kitab tersebut dianggap sebagai koleksi hadis yang paling otentik dan valid dibanding yang lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana ideologi teologis para periwayat itu berpengaruh atau setidaknya ada keterkaitan dengan hadis-hadis riwayatnya.

Penelitian ini menerapkan kaidah al-jarh wa-al-ta'dil. Sejumlah kaidah al-jarh wa-al-ta'dil tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat 'adalah (keadilan) para periwayat hadis tersebut.[3] Tentu saja, pada
bagian penelitian ini, "suara-suara yang lain" dari para ulama yang berlatar belakang ideologi lain (non-sunni) juga akan dikedepankan sebagai penyeimbang bagi dominasi wacana ke-sunnian.[4]
Berkenaan dengan metodologi pengumpulan data, penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu rijal al-hadith. Metode takhrij al-hadith juga banyak dilibatkan untuk menelusuri hadis-hadis yang mereka
riwayatkan.[5] Inventarisasi hadis dengan metode
takhrij hadith merupakan hal yang paling lazim digunakan dalam hampir setiap jenis kajian hadis. Secara spesifik, penelitian ini akan lebih banyak menggunakan pendekatan musnad. Para periwayat yang telah teridentifikasi selanjutnya ditelusuri hadis-hadis yang mereka riwayatkan. Untuk analisis, penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis. Analisis ini dimaksudkan untuk menelaah secara seksama mengenai latar belakang kehidupan dan kultur yang meliputi para periwayat hadis, termasuk ideologi teologis yang mereka anut.
Sebagai landasan teori, penelitian ini menggunakan teori resepsi dan proses (theories of message reception and processing) komunikasi sebagai grand theory, Teori Models of Reality dan Models for Reality
Cliffort Geertz,[6] Critical Discourse Analisys (CDA), Teori Konflik Sosial (Social Conflict Theory) dan teori 'asabiyah (Group Feeling) Ibn Khaldun (1332-1406 M.

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan kajian metodologis dalam upaya mencari metodologi yang dapat menjelaskan hubungan antara ideologi periwayat hadis dengan hadis-hadis
Nabi yang mereka riwayatkan.
Signifikansinya terhadap keilmuan global, hasil penelitian ini merekomendasikan sebuah teori bahwa seseorang dapat dengan mudah diterima jika mengikuti pola pikir ideologi mainstream, ortodoksi, dan
komunitas besar atau kelompok mayoritas. Mereka yang memilih untuk menyendiri, di samping sulit untuk diterima pesan-pesan yang disampaikannya, ia juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri. Maka, dalam proses komunikasi lintas ideologi, lintas budaya dan peradaban, sangat diperlukan inklusifitas pergaulan dan pola pikir. Dengan demikian, seseorang dapat dengan mudah beradaptasi dan menyatu dengan hal-hal baru nan asing bagi dirinya. Komunikasi lintas budaya dan ideologi menjadi penting untuk dilakukan. Bahwa kemudian seseorang menjadi terpengaruh oleh ideologi dan budaya baru tersebut, hal itu menjadi hak prerogatif seorang penerima pesan. Ia dapat saja independen dari penyampai dan tetap pada ideologi semula.
Penelitian ini dirancang menjadi enam bab pembahasan dengan rincian sebagai berikut: Bab Pertama adalah pendahuluan. Bab Dua berisi tentang landasan teoritis penelitian berupa perdebatan akademik seputar posisi periwayat hadis dalam berbagai komunitas ideologi, baik ideologi
keagamaan maupun politik.
Pembuktian tidak akan lengkap dan sempurna tanpa ada data dan fakta. Maka, penelitian seputar ideologi dalam periwayatan ini meniscayakan adanya data-data seputar keterlibatan para periwayat dalam
ideologi Khawarij. Tidak hanya itu, data yang ditampilkan dalam bab empat ini juga dilengkapi dengan beberapa wacana hadis yang dibawakan oleh para periwayat yang disinyalir berideologi Khawarij tersebut.
Pembuktian terbalik, antara periwayatan hadis Khawarij dari para periwayat Sunni juga dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar dapat dipastikan bahwa riwayat hadis yang mereka bawakan dan telah divalidasi oleh ahli hadis itu benar-benar objektif, valid, tidak provokatif dan mendukung ideologi masing-masing.
Untuk melengkapi pembuktian melalui data diri periwayat, maka pembuktian dalam bab kelima diproyeksikan kepada data-data seputar hadis-hadis yang dinilai bias ideologi Khawarij. Hadis-hadis ini
ditelusuri sumbernya dan siapa pengedarnya, apa motifnya dan untuk apa hadis tersebut digunakan? Di samping itu, hadis-hadis tersebut juga berfungsi untuk membuktikan orisinalitas hadis tetap dapat
dipertanggungjawabkan meski dibawakan oleh seorang penganut ideologi sektarian sekalipun. Hanya saja, dalam hal pemaknaan, hadis tersebut dapat dimaknai secara bias, tergantung pada objek dan tujuan yang
dijadikan pedoman oleh para kolektor dan pensyarah hadis. Dari kajian-kajian kritis sebelumnya, dihasilkan sebuah kesimpulan besar berikut rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang dikemas dalam bab
enam.

B.     KESIMPULAN
1.      Kesimpulan
Penelitian ini membuahkan sebuah kesimpulan besar bahwa semakin tinggi komitmen seorang periwayat terhadap Sunnah Nabi, semakin dapat menetralisir bias ideologi dalam periwayatan hadis. Sebagai konsekuensinya, kesamaan dan perbedaan ideologi tidak dapat dijadikan sebagai alasan penolakan sebuah hadis. Dalam kasus periwayatan hadis, komitmen terhadap Sunnah Nabi justru menetralisir konflik antar ideologi. Tidak sedikit riwayat hadis yang dinyatakan valid dan otentik dari Nabi ternyata disampaikan oleh orang-orang sektarian dalam ideologinya. Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit pula seorang periwayat mendapatkan mendapat penilaian negatif (majruh) lantaran disinyalir menganut berideologi non-Sunni. Padahal, dalam literatur-literatur hadis Sunni yang paling otoritatif, terdapat ribuan hadis yang diriwayatkan oleh para penganut ideologi non-Sunni.
Pada saat yang sama, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ideologi-ideologi muslim tersebut justru terbentuk dari sebuah pemahaman terhadap suatu hadis yang dinyatakan valid. Metode validasi yang ketat dalam tradisi kritik hadis mampu membendung arus pemalsuan hadis, khususnya yang dimotori oleh kepentingan ideologis. Karena itu, hadis Nabi tidak dapat digeneralisir sebagai produk ideologi (muntaj al-aydiyulijiya), sebagaimana juga tidak semua hadis dapat memproduk ideologi (muntij al-aydiyulujiya).
2.       Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut, penelitian ini merekomendasikan sebuah teori bahwa seseorang dapat dengan mudah diterima jika mengikuti pola pikir ideologi mainstream, ortodoksi, dan komunitas besar atau kelompok mayoritas. Mereka yang memilih untuk menyendiri, di samping sulit untuk diterima pesan-pesan yang disampaikannya, ia juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri. Maka, dalam proses komunikasi lintas ideologi, lintas budaya dan peradaban, sangat diperlukan inklusifitas pergaulan dan pola pikir. Dengan demikian, seseorang dapat dengan mudah beradaptasi dan menyatu dengan hal-hal baru nan asing bagi dirinya. Komunikasi lintas budaya dan ideologi menjadi penting untuk dilakukan. Bahwa kemudian seseorang menjadi terpengaruh oleh ideologi dan budaya baru tersebut, hal itu menjadi hak prerogatif seorang penerima pesan. Ia dapat saja independen dari penyampai dan tetap pada ideologi semula.
Periwayatan lintas ideologi merupakan salah satu bentuk komunikasi antar ideologi, yang tidak dapat disikapi dari satu dimensi saja, melainkan harus dilihat dari perspektif multidimensi. Setiap kepala pasti memiliki ideologi. Sementara ideologi melahirkan suatu budaya atau peradaban yang beragam. Kesadaran bersama untuk mencari titik temu (kalimatin sawa) adalah suatu hal yang niscaya untuk mencapai kerukunan dan kesatuan umat. Para sahabat Nabi yang berasal dari berbagai etnis, suku, agama dan kepercayaan yang telah bertahun-tahun menjadi bagian dari struktur intelektual dalam dirinya ternyata dapat mencapai satu visi dan misi, yaitu tegaknya Islam.
Demikian juga yang dilakukan oleh para periwayat hadis. Mereka menyadari betul bahwa ada banyak sekali ideologi yang lahir dari interaksinya dengan teks keagamaan dan kebudayaan. Ideologi-ideologi yang beragam itu selama masih dijalankan dalam koridor yang sama, al-Quran dan Sunnah, maka masing-masing masih dapat mentolerir. Satu sama lain masih saling meriwayatkan meskipun di lain waktu mereka juga berperang dalam hal ideologi. Tampaknya, sunnah-yang merupakan refleksi dari pesan-pesan Nabi saw, sebagai sosok perfect pattern—yang sama-sama mereka usung itulah yang mampu meredam konflik ideologis.
C.    ANALISIS
Secara umum, penelitian ini menghasilkan pemahaman baru dimana banyak orang mengira bahwa periwayatan dari orang-orang yang tidak berideologi Sunni otomatis akan ditolak. Bahkan label-label non Sunni pun dilekatkan pada rawi-rawi sebagai tanda tajri>h} atas kepribadian mereka. Label ini meliputi rumiya bi al-tasyayyu‘, rumiya bi al-i‘tiza>l, ka>na min ahl al-is\ba>t dan yang lainnya. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa riwayat orang-orang Khawarij banyak ditemukan dalam literatur Sunni, terutama dalam bidang ibadah, Haji dan Umrah serta tentang salat. Dalam bidang akidah dan perpolitikan, mereka tidak banyak tidak meriwayatkan dikarenakan ulama Sunni sangat ketat dalam meriwayatkan hadis.
Namun dalam analisisnya, sayang penulis tidak menyinggung kategori kritikus hadis dalam penilaiannya. Hal ini dapat menyebabkan penilaian yang bias dari seorang kritikus terhadap seorang rawi, terutama kritikus yang sangat ketat (mutasyaddid).[7] Dalam tulisannya, penulis juga hanya mengutip sumber-sumber sekunder yang berasal dari orang Sunni. Oleh karena itu, sumbernya pun terkadang kurang obyektif. Misalnya penilaian kritikus hadis yang memang semuanya berasal dari orang Sunni. Terakhir penulis tidak melihat bagaimana hubungan antara kritikus dan faktor sosial budaya, sosial politik, sosial geografi,[8] sosial ekonomi dan kepentingan yang sangat erat kaitannya dengan ideologi seseorang.[9]



D.    DAFTAR PUSTAKA
Pertti J. Pelto and Gretel H. Pelto, 1994, Anthropological Research: The Structure of Inquiry, Cambridge: Cambridge University Press
Muh}ammad bin Ah}mad al-Z|ahabi>, 1990, Z|ikr Man Yu’tamad Qawluhu fi al-Jarh} wa al-Ta‘di>l, (ed. ‘Abd al-Fatta>h} Abu> Ghuddah), Beirut: Da>r al-Basya>’ir al-Isla>miyyah, cet. V
Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h al-Sakha>wi>, 1990, al-Mutakallimu>n fi> al-Rija>l, (ed. ‘Abd al-Fatta>h} Abu> Ghuddah), Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>miyyah, cet. V, hlm. 132
Asghar Ali Engineer, 1999, The Origin and Development of Islam: an Essay on Its Socio-Economic Growth (diterjemahkan oleh Imam Baehaqi dengan judul Asal Usul dan Perkembangan Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I
Muhammad Abed al-Jabiri, 2000, Post Tradisionalisme Islam, (ed. Ahmad Baso), Yogyakarta: LKiS, Cet. I
F. Budi Hardiman, 2013, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. V, hlm. 157



[1]   Pertti J. Pelto and Gretel H. Pelto, 1994, Anthropological Research: The Structure of Inquiry, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 2.
[2]   Beberapa literatur untuk melakukan langkah metodologis ini antara lain adalah: Sahih al-Bukhari karya al-Bukhari, Sahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani, Sunan al-Tirmidhi karya Muhammad bin 'Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Nasa'ikarya al-Nasa'i, Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah al-Qazwini, Musnad Ahmad
karya Ahmad bin Hanbal, al-Muwatta' karya Malik bin Anas, Sunan al-Darimi karya al-Darimi, dan literatur-literatur hadis induk lainnya.
[3]   Adapun literatur yang akan dirujuk di antaranya adalah: Qa'idah fi-al-Jarh wa-al-Ta'dil wa-Qa'idah S-al-Muarrikhin karya Taj al-Din al-Subuki, Manhaj al-Naqd fi-'Ulum al-Hadith karya Nur al-Din 'Itr, Qawa'id al-Muhaddithin karya al-Tahanawi, al-Ta'sil al-Shar'i li-Qawa'id al-Muhaddithin karya Abdullah Sha'ban, dan sejenisnya.
[4]   Salah satu sumber yang akan digunakan adalah Mujam Rijal al-Hadith wa-Tafsil Tabaqat al-Ruwwat karya al-Sayyid Abu al-Qasim al-Khu'i, Majma'Bihar al-Anwarkarya al-Majlisi.
[5]   Kata takhrij secara etimologis mempunyai arti ijtima' amrayn mutadhaddayn fi-shay'in wahid, artinya: terhimpunnya dua hal yang saling bertentangan dalam satuhal. Dalam kamus disebutkan wa-'amun fihi takhrij: khasb wa-jazab (dalam satu tahun itu ada takhrij, yakni ada musim hujan dan kemarau). Kata ini kemudian dimaknai dengan al-Istinbat (menggali hukum), al-Tadrib (pelatihan, training), al-Tawjih (mengarahkan atau menjelaskan arah), namun ia kemudian popular dengan makna khurrija (yang dikeluarkan). Makna popular ini lazim dicontohkan dalam sebuah pernyataan fulan khirrij fulan, iza kana yata'allam minh, Ka-annahu huwa al-lazi akhrajahu min-hadd al-jahl (Si Polan khirrij Polan, jika Si Polan belajar dari polan. Makdusnya, seolah-olah Si Polan dikeluarkan oleh polan dari garis kebodohan.). Lihat Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu al-Husayn Ibn Ahmad, 1994, Mujam al-Maqayis fi-al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, hlm. 313. Sementara itu, dalam disiplin ilmu hadis, takhrij hadith didefinisikansebagai upaya menunjukkan materi hadis di dalam sumber-sumber pokok yang dikemukakan berikut transmisinya, dan menjelaskan kualifikasinya bila diperlukan. Lihat Mahmud al-Tahhan, 1983 Usul al-Takhrij wa-Dirasat al-Asanid, Riyad: Maktabah al-Rashid, hlm. 32
[6]   Teori ini dapat dibaca dalam Clifford Geertz, 1973, The Interpretation of Culture, Selected Essays, New York: Basic Books, hlm. 93
[7] Muh}ammad bin Ah}mad al-Z|ahabi>>, 1990, Z|ikr Man Yu‘tamad Qawluhu fi al-Jarh} wa al-Ta’di>l, (ed. ‘Abd al-Fatta>h} Abu> Ghuddah), Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>miyyah, cet. V, hlm. 158  dan Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h al-Sakha>wi>, 1990, al-Mutakallimu>n fi> al-Rija>l, (ed. ‘Abd al-Fatta>h} Abu> Ghuddah), Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>miyyah, cet. V, hlm. 132
[8] Hanya di daerah Masyriq, tidak mencapai daerah Maghrib. Padahal perkembangan hadis cukup besar disana. Lihat Asghar Ali Engineer, 1999, The Origin and Development of Islam: an Essay on Its Socio-Economic Growth (diterjemahkan oleh Imam Baehaqi dengan judul Asal Usul dan Perkembangan Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, hlm. 7. Lihat juga Ahmad Baso, “Posmodernisme sebagai Kritik Islam: Kontribusi Metodologis Kritik Nalar Muhammad Abed al-Jabiri” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, 2000, Post Tradisionalisme Islam, (ed. Ahmad Baso), Yogyakarta: LKiS, Cet. I,  hlm. xxxvi-xxxvii
[9] F. Budi Hardiman, 2013, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. V, hlm. 157