Al-Furqan fi Tafsir al-Qur'an A. Hassan


AL-FURQAN FI TAFSIR AL-QUR’AN
(KARYA AHMAD HASSAN)[1]

A.       BIOGRAFI AHMAD HASSAN
Nama lengkapnya adalah Hassan bin Ahmad. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya berasal dari India dan ibunya dari Indonesia. Lazimnya keturunan India di Singapura, nama bapak ditaruh di depan.[2] Ayahnya, Ahmad adalah seorang penulis, ahli kesusasteraan Tamil dan ahli tentang Islam.[3]
Ia tidak tamat sekolah tingkat dasar, kemudian menjadi pekerja. Tapi ia tetap semangat mencari ilmu dengan mengambil privat, terutama pelajaran agama, nahwu, sharaf dan bahasa Arab.[4] Ia juga belajar bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Inggris.[5] Hassan juga berguru pada ulama terkemuka di zamannya seperti Haji Ahmad (Bukitiung), Muhammad Thaib (Minto Road), Sa’id Abdullah al-Musawi dan Abdul Lathif (Malaka), Syaikh Hassan (Malabar) serta Syaikh Ibrahim (India).[6]
Tahun 1910 – 1921, ia mencoba berbagai jenis pekerjaan sampai menjadi anggota redaksi majalah Utusan Melayu. Pada tahun 1921, ia pindah ke Surabaya untuk mengambil alih pimpinan toko tekstil milik pamannya, Haji Abdul Latif. Di sana terdapat pertentangan antara kalangan tradisionalis dan modernis. Selama tinggal di Surabaya, ia menjalin hubungan dengan tokoh Syarikat Islam seperti H.O.S Cokroaminoto, A.M Sangaji, Bakri Suoratmojo, Wondoamiseno dan lain-lain.
Pamannya menghalangi Hassan untuk bergabung dengan mereka yang pikirannya bersemangat modernis maupun yang cenderung pada pikiran Wahabiyah.[7] Akan tetapi ia tidak menerima begitu saja patndangannya. Ini dikarenakan ia sejak kecil telah berkenalan dengan majalah yang diterbitkan oleh kalangan modernis, seperti al-Imam (Singapura) dan al-Munir (Padang). Ia juga pernah membaca al-Manar yang diterbitkan Rasyid Ridla di Mesir,
Ia pindah ke Bandung untuk meneruskan usahanya dan tinggal bersama Haji Muhammad Yunus yang juga salah satu pendiri Persatuan Islam (Persis). Setelah usaha tekstil yang dirintisnya sejak ia di Singapura bangkrut, ia meninggalkan usahanya tersebut dan mulai mengembangkan pemahaman dan pemikiran keagamaan organisasi Persis.[8] Ia bergabung dengan Persis di Bandung tahun 1915.[9]
Hassan merupakan tokoh yang produktif. Ia mempunyai sekitar 81 buah karya, antara lain): Soal Jawab (1931), Al-Furqan, Tafsir Al-Qur’an (1931), Risalah Ahmadiyah (1932), Islam dan Kebangsaan (1942), An-Nubuwwah (1941), A.B.C Politik (1947), Al-Faraidh (1949), Al-Hidayah (1949), Is Muhammad a Prophet (1951) dan Pengajaran Sholat (1966).[10]
Kadernya yang berpengaruh dan menonjol adalah Muhammad Natsir, Isa Anshary dan KH. E. Abdurrahman. Adapun yang sering berdialog dan menerima  pemikirannya dalah Munawar Chalil (Semarang), KH. Imam Ghazali (Solo), T.M. Hasby ash-Shiddiqy (Yogyakarta), Ustadz Abdullah Ahmad, Ustadz Abdul Hakim dan Ustadz H. Zainuddin Hamidy (Minangkabau).[11]
Ahmad Hassan meninggal di Bangil, Jawa Timur pada 10 November 1985 dalam usia 71 tahun.[12]

B.       TAFSIR DI NUSANTARA
Tafsir di Nusantara sejak abad ke-17 hingga abad ke-20 mempunyai beberapa model, yaitu:[13]
1.      Penafsiran dengan memberikan arti per kata (makna mufradah) lebih dahulu kemudian pindah ke makna ijmali dan masuk makna tafshili
2.      Penafsiran langsung dengan memberikan makna tafshili tanpa melalui arti kata dan makna ijmali terlebih dahulu
3.      Penafsiran dalam bentuk catatan kaki
4.      Penafsiran tematik
Kesan penafsiran secara sederhana dan global memang sangat kuat dan terlihat dalam tafsir-tafsir al-Qur’an, terutama dalam tafsir berbentuk catatan kaki seperti Tafsir al-Furqan karya A. Hassan, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus dan Al-Qur’an dan Terjemahnya karya Tim Penterjemah/Penafsiran al-Qur’an Departemen Agama RI. Ketiga tafsir tersebut tidak menggunakan hadits-hadits Nabi serta riwayat sahabat.[14]
Menurut Howard M. Federspiel, ada periodisasi sejarah perkembangan cara penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia):[15]
1.   Generasi pertama): permulaan abad ke-20 sampai awal 1960-an yang ditandai dengan
2.      Generasi kedua): penyempurnaan atas upaya pada generasi pertama
3.      Generasi ketiga): penafsiran lengkap yang mulai muncul pada 1970-an.
Ada dua karya representatif untuk mewakili tafsir generasi kedua,[16] yaitu Tafsir al-Furqan karya A. Hassan, Tafsir al-Qur’an karya Hamidy dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus.[17]
Ketiga karya tersebut memiliki format yang sama, yaitu:[18]
1.      Teks Arab ditulis di sebelah kanan halaman
2.      Terjemahan bahasa Indonesia di sebelah kirinya
3.      Tulisan kedua bahsa tersebut sangat jelas sehingga mudah dibaca
4.      Menambahkan catatan kaki kepada teks bahasa Indonesianya yang merupakan bagian dari tafsir
5.      Pada permulaan dan akhir teks memiliki sumber-sumber untuk membantu pembaca dengan bacaan lain atau referensi yang juga dianggap sebagian dari tafsir.
Berikut merupakan hal-hal yang terkandung dalam ketiga tafsir tersebut menurut Federspiel:
1.      Definisi istilah-istilah yang terdapat dalam al-Qur’an dan masalah-masalah yang ditemukan dalam penerjemahan[19]
2.      Definisi tentang konsep-konsep Islam[20]
3.      Garis-garis besar kandungan al-Qur’an[21]
4.      Catatan kaki untuk menjelaskan kata-kata atau kalimat tertentu dan mengungkapkan kembali teks agar lebih jelas maksudnya[22]


C.       TAFSIR QUR’AN AL-FURQAN
Nama lengkap tafsir karya A. Hassan adalah al-Furqan fi Tafsir al-Qur’an atau dalam bahasa Indonesianya adalah Al-Furqan (Tafsir Qur’an). Bagian pertama kitab ini terbit pada bulan Muharram 1347 / Juli 1928.[23]
Karena penerbitannya yang diselingi dengan beberapa kitab yang dianggap perlu oelh Persatuan Islam (Persis), maka pada 1941 tafsirnya baru sampai surat Maryam. Setelah menerangkan arti tiap surat dengan tulisan barunya, pembaca diharapkan bisa memahami maknanya dengan mudah. Adapun arti lain dari suatu ayat, maka beliau mempersilahkan untuk merujuk pada kitab tafsir yang lain.[24]
Setelah selesai pendahuluan, maka A. Hassan menjelaskan 35 (Pasal yang menjelaskan tentang beberapa hal, yaitu):[25]
(Pasal 1): cara menyalin (menerjemahkan ayat-ayat). Dalam (Pasal ini, beliau menjelaskan ketika menerjemahkan secara maknawiyah, seperti ketika beliau menerjemahkan 'qaala lahu'. Ketika diterjemahkan kata perkata berarti 'dia berkata baginya', tapi beliau menerjemahkan 'dia berkata kepadanya'. Contoh lain 'aamanaa billaahi', biasanya diterjemahkan 'dia percaya dengan Allah', tetapi beliau terjemahkan 'dia percaya kepada Allah'.[26]
(Pasal 2): penekanan arti. Dalam penerjemahan ayat-ayat al-Qur'an, A. Hasan memberikan tekanan yang berbeda. Seperti, menurut bahasa Arab, frasa al-hamdu lillaahi diterjemahkan dengan 'segala puji (hanya milik) Allah, Tuhan semesta alam', tetapi Lillaahil-hamdu diterjemahkan 'kepunyaan Allah-lah segala pujian'. Na'buduka diterjemahkan 'kami menyembah-Mu' tapi iyyaka na'budu diterjemahkan 'hanya Engkaulah yang kami sembah'. Huwa samii'un diterjemahkan 'Dia Yang Mendengar', tetapi huwa samii'un diterjemahkan Dialah Yang Maha Mendengar'. Karenanya, menurut beliau ketika susunan/rangkaian kalimat berubah, maka berubah juga artinya.[27]
(Pasal 3): jangan hanya memahami dari terjemahan, karena faham dalam tafsir bahasa Indonesia belum tentu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh suatu ayat.[28] (Pasal 4): ejaan yang dipakai. (Pasal 5): al-Qur’an dan sejarah turunnya. (Pasal 6): ayat yang pertama dan terakhir turun. (Pasal 7): makkiyah dan madaniyah. (Pasal 8): cara turunnya al-Qur’an. (Pasal 9): kodifikasi al-Qur’an. (Pasal 10): ringkasan tentang al-Qur’an. (Pasal 11): i’rab kata-kata dalam al-Qur’an. (Pasal 12): titik dalam al-Qur’an. (Pasal 13): asbab al-nuzul. (Pasal 14): tajwid. (Pasal 15): mujmal dan mufashshal al-Qur’an. (Pasal 16): hashr (pembatasan) dalam al-Qur’an. (Pasal 17): basmalah dan ta’awwudz. (Pasal 18): cara membaca al-Qur’an. (Pasal 19): hadits yang berlawanan dengan al-Qur’an. (Pasal 20): mu’jizat. (Pasal 21): mi’raj. (Pasal 22): Nabi ‘Isa tidak mempunyai ayah. (Pasal 23): kebangkitan di hari Kiamat. (Pasal 24): adzab kubur. (Pasal 25): kekalnya surga dan neraka. (Pasal 26): adzab dunia. (Pasal 27): kesenangan surga dan adzab neraka. (Pasal 28): jin . (Pasal 29): cerita isra’iliyyat . (Pasal 30): arti asal dan dzahir dalam al-Qur’an. (Pasal 31): hukum asal. (Pasal 32): huruf muqaththa’ah. (Pasal 33): beberapa kata dalam bahasa Arab dan penjelasannya. (Pasal 34): beberapa makna rangkaian kata dan penjelasannya. (Pasal 35): kamus (istilah) dalam beberapa kalimat yang ada dalam al-Qur’an
Kemudian setelah itu ada petunjuk tema-tema pokok dalam al-Qur’an oleh Abdul Qadir Hassan,[29] daftar surat al-Qur’an,[30] daftar isi surat al-Qur’an dalam bahasa Indonesia,[31] daftar isi surat al-Qur’an dalam bahasa Arab[32] dan daftar isi juz dalam al-Qur’an.[33] Kemudian baru dimulai penafsiran surat al-Fatihah hingga al-Nas.[34]
Metode penafsiran A. Hassan adalah sebagai berikut:
1.    Menempatkan terjemah ayat dalam bahasa Indonesia di sebelah kiri dan bahasa Arab di sebelah kanan.
2. Memberikan catatan kaki di setiap terjemahan bahasa Indonesia yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
3.   Dalam pendahuluan tiap surat, beliau memberikan arti surat, penjelasan nomor surat, jumlah ayatnya dan tempat diturunkannya surat tersebut.
4.      Di header tiap-tiap halaman, bagiannya adalah sebagai berikut):
a.       Sebelah kiri adalah nomor surat, nama Arab suatu surat, dan nomor juz. Semuanya ditulis dalam huruf latin
b.      Sebelah kanan adalah nomor juz, arti dari surat tersebut dalam bahasa Indonesia dan nomor surat. Semuanya juga ditulis dalam huruf latin.

D.       CONTOH PENAFSIRAN
Berikut ini merupakan contoh penafsiran A. Hassan dalam tafsirnya:


Surat at-Takatsur (Berlebih-lebihan)
Surah ke-102 ; 8 ayat
Diwahyukan di Makkah
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقََابِرَ (2) كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (3) ثُمَّ كَلاَّسَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (4) كَلاَّ لَوْتَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ (7) ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ (8)
Dengan nama Allah, Pemurah, Penyayang.
1.      Kamu telah dilalaikan oleh berlebih-lebihan. <4519>
2.      Hingga kamu melawat kubur. <4520>
3.      Tidak sekali-kali ! <4521> (bahkan) kamu akan mengetahui ;
4.      Dan <4522> tidak sekali-kali, (bahkan) kamu akan mengetahui.
5.      Tidak sekali-kali ! (alangkah baiknya) kalau kamu ketahui dengan pengetahuan yang yakin !
6.      Sesungguhnya kamu akan melihat neraka itu,
7.      Dan <4522> sesungguhnya kamu akan lihat dia dengan penglihatan yang yakin,
8.      Kemudian, sesungguhnya kamu akan diperiksa di hari itu dari hal ni’mat. <4522>
Catatan kaki):
<4519>. Kamu telah lalai dengan sebab harta benda, kemuliaan, kesenangan dan lain-lainnya yang banyak.
<4520>. Ya’ni, hingga kamu mati.
<4521>. Persangkaan kamu bahwa harta dan kemuliaan kamu bisa menolong kamu itu tidak benar sekali-sekali.
<4522>. Kalimah "Dan" di dua Ayat itu salinan dari kalimat "Tsumma'. Asal makna "Tsumma' kemudian, tetapi di beberapa tempat terpakai dengan arti "Dan".
<4523>. Kamu akan diperiksa, di urusan apa kamu membelanjakan ni’mat-ni’mat pemberian Tuhan[35]

E.       REFERENSI
·         A. Hassan, al-Furqan fi Tafsir al-Qur’an, Surabaya): Penerbit al-Ikhwan, 1988, cet. II,
·         Badiatul Roziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam, Yogyakarta): e-Nusantara, 2009, cet. II
·         Howard M. Frederspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, (diterjemahkan dengan Kajian al-Quran di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab oleh Tajul Arifin), Bandung): Mizan, 1991, cet. I
·         M. Masrur, Model Penafsiran Tafsir al-Qur’an di Nusantara sejak abad XXVII hingga XX, Jurnal Teologia vol. 16 Nomor 2, Juli 2005, Semarang): Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
·         Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta): Djambatan, 1992




[1]  Makalah dipresentasikan oleh Muhammad Bagus Irawan (094211050) dan Muhammad Akmaluddin (094211064) guna memenuhi tugas Perkembangan Tafsir di Indonesia (pengampu: M. Masrur, M. Ag) Fakultas Ushuluddin Program Khusus Jurusan Tafsir Hadits IAIN Walisongo Semarang pada Kamis, 22 November 2012
[2] Badiatul Roziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009, cet. II, hal. 71
[3] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hal. 82
[4] Ibid. Lihat juga 101 Jejak…, hal. 71
[5] 101 Jejak…, hal. 71
[6] Ibid., hal. 72
[7] Ensiklopedi Islam..., hal.. 83
[8] Ensiklopedi Islam..., hal.. 83
[9] 101 Jejak…, hal. 72
[10] 101 Jejak…, hal. 73
[11] Ibid.
[12] Ibid., hal. 71
[13] M. Masrur, Model Penafsiran Tafsir al-Qur’an di Nusantara sejak abad XXVII hingga XX dalam Jurnal Teologia vol. 16 Nomor 2, Juli 2005, Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang hal. 288
[14] Ibid., hal. 290
[15] Howard M. Frederspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, (diterjemahlkan dengan Kajian al-Quran di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab oleh Tajul Arifin), Bandung: Mizan, 1991, cet. I, hal. 129
[16] Mungkin Frederspiel salah menempatkan periodisasi karena tafsir-tafsir tersebut dikarang sebelum tahun 1960an, terutama tafsir Qur’an al-Furqan terbit pertama kali pada 1928. Lihat pendahuluan A. Hassan dalam al-Furqan fi Tafsir al-Qur’an, Surabaya: Penerbit al-Ikhwan, 1988, cet. II, hal. vi
[17] Popular Indonesian…, hal.  129.
[18] Ibid., hal. 130
[19] Popular Indonesian…, hal.  131
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 132
[22] Ibid., hal. 133
[23] al-Furqan fi…, hal. vi
[24] Ibid.
[25] Lihat Furqan fi…, hal. vii - xxxix
[26] Ibid., hal. vii
[27] Ibid., hal. vii – viii
[28] Ibid., hal. viii
[29] Lihat Furqan fi…, hal. xl - xliv
[30] Ibid., hal. xlv - xlvi
[31] Ibid., hal. xlvii - xlix
[32] Ibid., hal. l - li
[33] Ibid., hal. lii
[34] Ibid., hal. 1 – 1240
[35] Lihat Furqan fi…, hal. 1228

Post a Comment

0 Comments