Gempa dan Tahlilan: Pengalaman di Sleman Yogyakarta


Pada hari itu, Ahad setelah Isya', tanggal 23 Juli 2023 ada undangan tahlilan di tetangga untuk memperingati 40 hari anak tetangga saya yang meninggal. Setelah duduk di ruang tamu, seperti biasa, para tamu mengobrol ke sana ke mari. Saya juga ikut mengobrol bersama mereka. Sekitar 15 menit kemudian, ada gempa kecil, yang pusatnya di Pacitan. Gempa berlangsung sekitar 20-30 detik dan membuat tamu yang hadir memberikan komentar masing-masing.

Menurut pengamatan, mereka santai saja merasakan gempa. Entah karena sering terjadi gempa seperti ini atau memang menunggu apakah gempa semakin besar getarannya baru keluar atau bagaimana. Saya yang melihat para hadirin santai saja sebenarnya agak takut. Pasalnya, di Kudus atau Pekalongan, ada gempa dengan getaran seperti itu biasanya langsung pada keluar, mengucapkan takbir, atau adzan dan lain sebagainya.

Namun di Sleman sini, mereka hanya meneruskan obrolan, meruku', dan lain sebagainya. Mereka paling cuma berkomentar jika ada barang yang bergoyang, gempanya masih berlangsung, dan lainnya. Bisa jadi hal ini terjadi karena mereka sudah berdamai dan memahami gempa yang sering terjadi. Namun saya sendiri masih belum terbiasa dan agak panik ketika merasakan gempa walau hanya sebentar.

Mau tak mau, sebagai masyarakat yang sudah menetap di Sleman, saya dan keluarga diharuskan untuk berdamai dan memahami gempa yang sering terjadi. Tidak hanya saya, tapi juga semuanya yang menetap di daerah Jogja. Bersahabat dengan fenomena alam adalah keharusan, bukan karena terpaksa, tapi memang punya sifat dan wataknya, sebagaimana mereka juga memahami sifat dan watak kita sebagai manusia.

Post a Comment

0 Comments