Quo Vadis Tradisi Dhandhangan

Berbicara tentang awal bulan puasa, maka kita tidak terlepas dari tradisi dandangan yang telah bertahun-tahun digelar. Menurut KBBI, tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dl masyarakat. Tradisi ini diwariskan oleh Sunan Kudus hingga sekarang dan diadakan di sekitar Masjid al-Aqsha Menara Kudus guna menyampaikan pengumuman untuk perwakilan dari segenap penjuru desa bahwa bulan Ramadlan sudah datang (Nur Said, 2010: 126).

Tradisi ini pun mengalami berbagai perubahan, mulai dari aktivitas menunggu pengumuman bulan puasa hingga menjadi mreman barang dagangan, bertemunya pengunjung dari berbagai pelosok daerah dan keramaian yang “mengganggu” lalu lintas. Sehingga muncullah asumsi masyarakat bahwa Dandangan hanya sekedar tempat jual beli, nongkrong dan pusat kemacetan di kota.

Di samping itu, banyak juga aktivitas perdagangan produk non lokal, hiburan non-agamis dan bercampurnya laki-laki dan perempuan tanpa tujuan ngaji ataupun ziarah. Hal ini membuat kawasan di sekitar Menara Kudus “tercemar” yang notabenenya adalah kawasan santri. Demikian juga dengan beberapa wacana yang tidak selaras dengan semangat datangnya bulan puasa. Diantaranya adalah perluasan kawasan Dandangan, peningkatan retribusi pemerintah, keluarnya para gadis tanpa kerudung dan pencarian jodoh (SM, 09/07/2012).

Esensi Dandangan dan Peran Pemda
Padahal menurut pengalaman penulis, banyak acara keagamaan yang dilakukan di kawasan Menara Kudus pada saat yang bersamaan. Ziarah ke makam keluarga dan mbah Sunan Kudus, tradisi ruwahan (kirim doa kepada para keluarga yang telah meninggal di bulan Syaban) serta bahtsul masail al-diniyyah (pembahasan masalah keagamaan) oleh Lajnah Bahtsul Masail (LBM) PCNU Kudus di Masjid al-Aqsha Menara Kudus yang menjadi momentum penanda akan datangnya bulan suci. Akan tetapi hal ini menjadi tidak terungkap ketika pemerintah hanya mengurusi soal retribusi daerah saja.

Idealnya, tradisi ini tidak kehilangan esensinya, yaitu silaturrahim antara para ulama, pemerintah dan masyarakat dalam memperhatikan maslahah ummat sebagaimana dicontohkan oleh Sunan Kudus. Ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah dimana saat itu para warga dari berbagai desa datang untuk melihat tradisi tersebut.

Entah bagaimanapun kebijakan pemerintah, esensi Dandangan yang mencakup aspek budaya dan religiusitas tidak lagi dipandang sebelah mata. Aspirasi dari ulama dan masyarakat untuk pemerintah, tata ruang kota dan kebersihan tempat dalam tradisi ini menjadi suatu keniscayaan untuk diperhatikan. Dengan demikian, semangat ke-Kudus-an itu masih dapat dinikmati dan dirasakan oleh anak cucu.

Post a Comment

0 Comments