Arabisasi telah banyak menggejala di Indonesia sejak awal penyebaran Islam. Proses ini tidak hanya dalam agama saja, tapi juga mempengaruhi berbagai kosakata di Indonesia. Banyak juga yang melihat bahwa Arabisasi merupakan bagian dari Islam. Tidak ngarab berarti tidak Islam. Itulah kaidahnya sehingga banyak yang merasa paling benar dan agamis ketika menggunakan bahasa Arab.
Hal tersebut sebenarnya tidaklah mengapa, tetapi jika diikuti dengan klaim kebenaran maka itu menjadi bermasalah. Misalnya seseorang akan lebih dianggap lebih Islami jika mendahulukan bulan Arab atau nama hari Arab dalam bahasa lisan atau tulisan. Jika tidak, bisa saja orang tersebut dianggap tidak faham agamanya. Penyebutan ini berlanjut kepada panggilan nama seseorang dengan akhi ukhti, ustadz, syaikh dan lainnya. Bahkan tulisan berbahasa Arab pun, walaupun itu majalah, akan dianggap lebih sakral daripada yang latin.
Otoritas wacana yang diproduksi oleh para elit agama ini menimbulkan kekhawatiran akan cara beragama yang eksklusif. Dengan demikian, nalar kritis untuk menggali lebih dalam agama dan sejarahnya akan tertutup oleh hegemoni mereka. Misalnya kenapa menggunakan bulan Arab Hijriyah, bukan bulan Miladiyah yang lebih umum dan banyak dipakai? Toh padahal nama bulan Hijriyah juga diambil dan diadaptasi dari penamaan orang kafir Quraisy pada waktu itu. Bulan Miladiyah juga seperti itu, berasal dari bangsa Romawi. Begitu juga dengan hari, panggilan dan lainnya.
Jawaban dari salah satu pertanyaan kritis tersebut dan semacamnya biasanya dijawab dengan jawaban yang tidak memuaskan. Bahkan cenderung otoriter dan hegemonik. Kalau tidak mau diberitahu ya kamu berdosa, atau akan dianggap tidak punya tata krama.
Dengan bahasa apapun, sebenarnya kita juga bisa menghidupkan dan menyiarkan agama Islam. Bahkan degan bahasa lokal maka lebih menarik dan lebih adaptif daripada bahasa dari padang pasir. Oleh karena itu, keberhasilan para Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa tidak menggunakan ungkapan dalam bahasa Arab murni, tapi dipadukan bahkan murni dengan bahasa Jawa.
Otoritas wacana yang melangit dan terlalu fikih, kurang bisa difahami masyarakat umum secara luas. Oleh karena itu mereka memilih mencari jawaban dan arahan dari internet, yang lebih mudah difahami, bebeas dilakukan, tanpa pengawasan dan tanpa justifikasi benar tidaknya suatu perbuatan.
Ambarukmo, 20 Juli 2017
0 Comments
Silahkan meninggalkan saran dan masukan terkait blog ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.