Waktu
adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi
pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan
manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari
kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu -selain Tuhan-
tidak akan mampu melepaskan diri darinya. Tapi ia adalah sungai mati yang
sering dilupakan oleh manusia dan peradaban.
Dia
tidak bisa dinilai dengan uang karena dia adalah permata kehidupan yang tiada
ternilai harganya. Waktu lebih mahal dari emas karena sering disia-siakan dan
hanya dapat dijumpai oleh seseorang ketika sudah tidak menemukannya lagi. (Malik,
1986: 139 – 140). Segala sesuatu yang menyangkut kegiatan manusia menyesuaikan
tempat dan waktu, sebagaimana telah banyak dibahas dalam ushul al-fiqh.
Pemanfaatan waktu sebelum tiba waktu yang lain juga telah disabdakan oleh Rasulullah
(Mustadrak al-Hakim, Vol. IV hal. 306).
Selama
ini manusia sering kali menggunakan kata “ada”, tetapi tak mengetahui apa
hakikat ada. Ada diandaikan secara apriori begitu saja. Ada bersifat temporer.
Ada dalam konteks waktu (mewaktu). Waktu bermakna: dulu, sekarang dan kemudian
(yang akan datang), namun Heidegger lebih menekankan waktu kemudian (yang akan
datang). Hal ini, karena manusia bersifat aktif dan dinamis, sebagai subjek
yang mengambil keputusan untuk merencanakan apa yang akan diperbuat. Dengan
demikian hakikat manusia (Dasein) adalah realitas yang belum selesai, sebagai
“Ada” yang bersifat temporer ( menjadi). Di sini nampak pengaruh pandangan
Heraclitos, bahwa “semuanya mengalir” atau “menjadi”.
Dalam
beberapa tempat, al-Qur’an sering menyebutkan waktu yang dikaitkan dengan
sumpah Allah. Setidaknya ada empat istilah untuk menunjukkan waktu sebagai seluruh
rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung; saat
yang tertentu untuk melakukan sesuatu; kesempatan; tempo atau peluang (Shihab,
2007: 721 – 723).
Empat
istilah itu adalah ajal dan derivasinya disebut sebanyak 55 kali, waqt
sebanyak 15 kali, ‘ashr sebanyak 5 kali dan dahr sebanyak 2 kali
(Fuad A. Baqi: 1981: 14 – 15, 757, 463 dan 264).
Dari
kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan Al-Qur’an
mengenai waktu, yaitu:
a.
Kata
ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya,
sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Ta’ala sendiri (QS.
10: 49, 28: 28. Lihat juga Hans Wehr, 1980: 6).
b.
Kata
waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai
batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tercermin
dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian
teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu,
bulan, tahun, dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan
pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa
(QS. 4: 103. Lihat juga Hans Wehr, 1980: 1087).
c.
Kata
'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus
diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran (QS. 103: 1. Lihat juga Hans
Wehr, 1980: 616)
d.
Kata
dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa
keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr) (QS. 76: 1, 45: 24. Lihat
juga Hans Wehr, 1980: 295).
RELATIVITAS
WAKTU
Kesadaran tentang waktu berhubungan dengan bulan dan
matahari (pengalaman empiris), baik dari segi perjalanannya (malam
saat terbenam dan siang
saat terbitnya) maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan
sekali terbit sampai terbenamnya
matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
Perhitungan
semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa
walaupun hal itu diperkenalkan (seperti setahun sama dengan 12 bulan pada QS.
9: 36), al-Qur’an juga memperkenalkan adanya
relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan,
maupun pelaku.
Menurut
Heidegger, ada dua macam waktu: waktu di dalam (subyektif) dan waktu di luar
sana (waktu objektif). Waktu di dalam adalah pengertian waktu yang hanya bisa
diterapkan pada Dasein /manusia, karena sifatnya yang mewaktu. Sedangkan waktu
di luar sana atau waktu objektif berasal dari kemewaktuan Dasein, yang berbeda
antara orang per orang yang dipukul rata yang dapat diukur berdasarkan detik
demi detik, menit demi menit , jam-jam, hari-hari dan seterusnya. Kemewaktuan
lebih bersifat asli/primordial dibanding waktu objektif. (Budi Hardiman (2003),
Ibid. 102-104).
Dalam
pengertian waktu objektif ini setiap objek mempunyai standar pengukuran yang
sama. Namun dalam pengertian waktu di dalam setiap subjek (Dasein /manusia)
berbeda standarnya karena dipengaruhi oleh subjektivitas dalam “keberadaannya”.
Dalam hal ini manusia yang sibuk akan merasakan waktu berjalan begitu cepat,
tetapi bagi mereka yang tidak banyak kesibukan atau dalam situasi penantian
akan merasakan waktu berjalan begitu lamban.
Beberapa
ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa waktu yang dialami manusia di dunia berbeda
dengan waktu yang dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat
berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Dinyatakan
bahwa Ashhab al-Kahfi mengaku tidur sehari atau setengah hari. Padahal mereka
ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih. Ini karena mereka ketika itu
sedang ditidurkan oleh
Allah, sehingga walaupun mereka
berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang waktu
yang panjang, mereka
hanya merasakan beberapa saat
saja (QS. 18: 19).
Allah
Ta’ala berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam al-Qur’an ditemukan
kata kerja bentuk
masa lampau (past tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk
suatu peristiwa mengenai masa depan (QS 16: 1).
Bentuk
kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai makna yang dikandungnya,
karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi di sisi lain jika
memang telah datang seperti bunyi
ayat, mengapa pada
ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya?
Kebingungan itu insya Allah akan
sirna, jika disadari bahwa Allah
berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa
yang akan datang sama
saja. Dari sini dan dari sekian ayat yang lain sebagian
pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.
Begitu
juga dengan malaikat yang menuju hadirat-Nya, menyatakan perbandingan waktu
dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (QS. 70:
4). Sedangkan masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk naik ke
sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia (QS. 32: 5).
Ini
berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang
dilakukan oleh satu pelaku
mengakibatkan perbedaan waktu
yang dibutuhkan untuk
mencapai suatu sasaran.
Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan
waktu yang berbeda untuk mencapai
sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan kita kepada
keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi mencapai
hal yang dikehendakinya dalam sekejap mata (QS. 54: 50). Sesuatu itu adalah Allah Ta’ala.
"Kejapan
mata" (QS. 54: 50) tidak boleh dipahami dalam pengertian dimensi
manusia, karena Allah
berada di luar dimensi tersebut, dan karena Dia juga
telah menegaskan bahwa apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya, "Jadilah!", maka terjadilah ia (QS 36: 82).
Ini
pun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan kata kun,
sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi seketika tanpa suatu
proses. Ayat-ayat di atas hanya ingin menyebutkan bahwa Allah Ta’ala
berada di luar dimensi ruang dan waktu.
Dari
sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara mutlak seperti
pemahaman populer dewasa ini. Allah menciptakan alam raya selama enam hari ,
tidak harus dipahami sebagai enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh
jadi kata "tahun" dalam Al-Qur’an tidak berarti 365 hari (walaupun kata
yawm dalam al-Qur’an yang berarti hari hanya terulang 365 kali) karena umat
manusia berbeda dalam
menetapkan jumlah hari dalam setahun.
Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau
matahari, tetapi karena umat manusia mengenal pula perhitungan yang lain.
Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh a.s. hidup di tengah-tengah kaumnya
selama 950 tahun (QS. 29:14), tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan
Syamsiah atau Qamariah. Ini dikarenakan umat manusia pernah mengenal
perhitungan tahun berdasarkan musim (panas,
dingin, gugur, dan
semi) sehingga setahun perhitungan
kita yang menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama
dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima,
maka keberadaan Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar
230 tahun.
Al-Qur’an mengisyaratkan perbedaan
perhitungan Syamsiah dan Qamariah
melalui ayat yang membicarakan lamanya
penghuni gua (Ashhab al-Kahfi)
tertidur, yaitu tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS. 18: 25).
Tiga
ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah, sedangkan penambahan
sembilan tahun adalah
berdasarkan perhitungan Qamariah.
Seperti diketahui, terdapat
selisih sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah dan
Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama
dengan sembilan tahun (Shihab, 2007: 728).
0 Comments
Silahkan meninggalkan saran dan masukan terkait blog ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.